Althea
Aku memerhatikan Edgar yang sedang menyantap makanannya duduk di hadapanku dengan lahap. Sudah dua minggu berlalu sejak aku terakhir kali bertemu dengannya. Edgar terlihat kelelahan sekali. Kantung matanya terlihat semakin menghitam. Ia juga terlihat lebih kurus dibandingkan dua minggu yang lalu.
"Makannya santai saja, Mas. Jangan diburu-buru. Nanti tersedak," ujarku mengingatkan.
Edgar mengangkat kepalanya kemudian tersenyum padaku. Laki-laki itu kembali melahap makanannya yang belum habis. Aku bangkit dari tempat duduk menuju pantry, berniat membuatkan minuman hangat untuk Edgar.
Untungnya suasana restoran malam ini tidak terlalu ramai. Ini ketiga kalinya Edgar datang berkunjung ke restoran milikku. Pertama kali ia datang bersama ibunya dan ibuku. Aku terkejut sekali ketika pertama kali melihatnya karena sangat mirip dengan Landry, mantan kekasihku. Dan ternyata benar dia adalah kembaran dari Landry, lebih tepatnya kakak yang lahir beda lima menit dari Landry. Kedua kali dia datang bersama dengan koleganya, mereka menghabiskan waktu makan siang di restoranku. Aku lihat dia saat itu sedang sibuk membicarakan sesuatu, mungkin membicarakan perihal bisnisnya. Jadi aku tidak berani menghampirinya. Baru saat malam harinya Edgar memberitahuku bahwa ia makan siang di restoranku. Aku bilang aku tahu dia datang, tapi karena Edgar sedang sibuk, aku tidak enak tiba-tiba datang menghampiri.
Lalu, ini ketiga kalinya dia datang berkunjung. Tidak biasanya dia datang mengunjungiku. Kami bertemu terakhir sekitar dua minggu lalu. Dan juga jarang berkomunikasi lewat telepon. Edgar pernah bilang padaku bahwa ia tidak terlalu suka berhubungan lewat telepon. Ia lebih suka bertatap muka langsung. Dia bilang juga meminimalisir kesalahpahaman. Jika berkomunikasi hanya lewat telepon, tanpa bertatap muka, kesalahpahaman itu lebih mudah terjadi.
Aku kembali menuju tempat Edgar yang masih duduk sambil melahap makanannya. Kuletakan gelas berisi minuman hangat ke atas meja tak jauh dari jangkauan Edgar sambil duduk kembali di hadapan laki-laki itu. Kembali menemaninya menghabiskan makanan.
"Tadi siang ada makan apa?" tanyaku membuka percakapan.
"Aku nggak makan," jawabnya sambil meletakan perlengkapan makan di atas piring. Makanannya sudah tandas.
Aku mengernyitkan dahiku, bingung dengan jawabannya. "Lho? Kamu gak makan siang lagi?" Sudah sering kali aku mendengar Edgar melewatkan makan siangnya. Ibunya begitu khawatir dengan kebiasaan anak lelakinya yang tidak sehat itu dan memintaku untuk menasihatinya.
Edgar menggelengkan kepalanya pelan, lalu tersenyum. "Nggak. Tadi aku sibuk sama rapat dan periksa tumpukan berkas satu per satu."
Aku menghela nafas kemudian menatapnya, "Mas jangan biasakan tidak mementingkan makan seperti itu. Ditambah Mas itu super sibuk. Jangan sampai skip makan begitu. Ibu juga bilang sama aku gak suka sama kebiasaan Mas yang begitu," nasihatku.
Edgar tertawa pelan, "Hahaha. Iya, maaf, aku gak pentingin kesehatanku. Janji ini terakhir kali aku skip makan siang. Tadi seriusan sibuk banget di kantor."
Aku mendelik menatapnya lalu kembali menghela nafas, "Nggak perlu janji. Realisasinya saja. Gak baik terlalu banyak janji yang diumbar." Edgar kembali tertawa mendengar celotehanku.
Tidak ada satu pun dari kami yang membuka suara setelah itu. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Lebih tepatnya aku yang bingung mau membicarakan apa dengannya. Tidak ada topik yang bisa kami bahas. Edgar kembali sibuk dengan ponselnya. Dari tadi ponselnya terus berbunyi, tapi Edgar tidak menggubrisnya. Ia baru membukanya setelah selesai makan.
Sudah empat bulan setelah kami memutuskan untuk bertunangan. Bukan kami, tapi kedua orangtua kami. Orangtua kami tiba-tiba menjodohkan kami berdua. Mereka berharap dengan adanya pernikahan di antara kami, dapat mengembangkan bisnis dari keduanya. Mereka ingin memperluas lingkup bisnis mereka, bukan murni karena kehendak kami ingin menikah karena cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Kalian
Fanfiction(COMPLETED) Hidup bak putri raja, yang tinggal di istana nan megah dan bergelimang harta tidak membuat Althea menjadi pribadi yang tamak. Justru ia merasa sebaliknya. Gadis itu merasa hidupnya itu tidak sepenuhnya seperti apa yang telah dibayangkan...