13

378 80 3
                                    

Landry

Gue memerhatikan tindak tanduk Edgar yang sedari tadi terlihat uring-uringan tidak fokus pada pekerjaan di hadapannya. Kacamata merosot dari hidungnya, rambut acak-acakan, bahkan dasi yang tidak terbelit pada tempatnya.

Gue menghela nafas. Sudah beberapa hari terakhir ini Edgar tidak pada performanya yang biasa. Itu karena ulah dia sendiri.

Edgar ketahuan pergi berduaan dengan perempuan lain ketika dia sendiri bilang pada Evelyn bahwa dia tidak bisa menemani Evelyn dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya. Such a big bullshit.

Dan karena ulahnya itulah Evelyn marah. Bagaimana tidak marah? Seseorang yang lo percaya, seseorang yang sudah menjadi tunangan lo sendiri malah berbohong dan di belakang diri lo dia jalan dengan perempuan lain. Kalau perempuannya tidak dikenal mungkin tidak akan serunyam ini. Tapi ini kan berbeda.

Tebakan gue benar ternyata. Perempuan yang namanya Anneke ini punya maksud tertentu dengan kehadirannya yang tiba-tiba di hubungan Evelyn dan Edgar. Tapi Edgar terlalu bodoh untuk mendengarkan ucapan gue.

Menurut cerita Edgar, sudah 3 hari terakhir Evelyn tidak mau menerima panggilan atau pun membahas pesannya. Kalau begitu artinya sudah jelas Evelyn marah besar. Evelyn bukan seseorang yang mudah terpengaruh emosinya, tapi jika dia sudah marah, bisa kacau semuanya.

"Lagian suruh siapa lo ngebohong sama Eve make bilang segala lo sibuk dengan kerjaan lo. Tahunya di belakang dia, lo nemuin perempuan yang namanya Anneke itu." Sentil gue tak peduli. Edgar memang harus merasakan hasil dari perbuatannya.

Edgar meringis sambil mengacak rambutnya kasar. Gue tahu dia stress berat menghadapi masalah kayak gini.

"Terus gue harus gimana, Lan?" Tanya kembaran gue itu, tidak sabaran.

Gue mengangkat bahu, "Ya elo udah minta maaf belum sama Evelyn? Datang kek ke kantornya, atau apa gitu."

"Sudah. Gue sudah coba minta maaf, tapi gak ada satu pun dari panggilan dan sms gue yang dibales sama dia." Jawabnya makin gusar.

"Udah coba datangin dia belum? Ke kantor atau ke rumahnya?" Tanya gue lagi.

Edgar tak menjawab pertanyaan gue dan gue bisa mengambil kesimpulan bahwa dia belum mencoba metoda itu. Mahir dalam pekerjaan belum tentu mahir dalam menyelesaikan masalah hidup yang lain, terutama masalah asmara. Dan gue menyadari Edgar itu lamban dalam bertindak kalau urusan relationship begini.

"Lagian lo begok, sih. Udah tahu punya tunangan malah jalan sama cewek lain. Selingkuh tuh yang apik." Timpal gue sekenanya.

Edgar mendelik kesal pada gue, tapi tak menjawab. Dia mungkin menyadari bahwa apa yang dia lakukan salah.

Meski pun gue bertindak selebor dan seenaknya, gue gak pernah tuh having affair with other girls behind my girlfriend. Lagian buat apa juga gue melakukan sesuatu yang ujungnya merusak citra gue sendiri. Dan menjadi playboy bukan bakat gue. Meski pun kata kebanyakan orang tampang gue meyakinkan sekali untuk menjadi playboy yang memiliki deretan pacar di belakang gue.

Nggak, lah. Gue gak sesampah itu.

"Udah sana, dibanding lo uring-uringan gak menghasilkan sesuatu yang membuat hubungan lo membaik, kenapa lo gak coba datang ke tempat Evelyn?"

"Dia aja gak mau terima panggilan dari gue. Kalau gue ke sana, yang ada pasti dia juga ngusir gue." Edgar menghela nafas.

Gue memutar bola mata melihat kebodohan kembaran gue ini. Asli, Edgar meskipun pintar di akademik tapi dia payah dalam menyelesaikan masalah yang sebenarnya sepele.

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang