01

1.4K 152 9
                                    

(Sebelum masuk ke dalam cerita aku lupa kasih tahu kalau cerita ini memakai sudut pandang pertama, dimana nantinya akan diceritakan melalui sudut pandang masing-masing karakter. Selamat membaca!)

.
.
.

Edgar

Langit di luar jendela kantor sudah mulai berubah warna jadi jingga. Jam juga sudah menunjukan pukul 5 lewat 25 menit. Itu artinya jam pulang kantor yang sebenarnya sudah hampir setengah jam berlalu dari waktu yang sudah ditentukan.

Gue masih asyik berkutat dengan catatan laporan keuangan yang sedang gue kerjakan dari pagi. Beginilah hari-hari gue, pulang kantor lebih lambat dari pegawai gue yang lain dan datang terkadang lebih pagi dari yang lainnya. Meskipun sebenarnya gue bisa datang atau pergi kapan pun gue mau, karena perusahaan yang jadi tempat gue kerja sekarang ini punya bokap. Tapi, karena disiplin diri ini dari dulu dan tanggung jawab gue sama perusahaan, rasanya kurang etis aja kalau gue berlaku selengek'an.

Sudah hampir 2 tahun gue kembali ke Indonesia dan mengisi kursi jabatan sebagai direktur keuangan di perusahaan milik bokap ini. Dan selama gue menjabat, banyak kinerja yang mesti gue benahi. Bukan berarti kinerja sebelumnya tidak bagus. Semua sudah bagus, tapi lebih baik jika gue tingkatkan lagi performanya. Toh tujuannya kembali lagi untuk profit perusahaan.

Terdengar seseorang mengetuk pintu ruang kerja gue. Gue mempersilahkan masuk orang itu sambil masih menenggelamkan diri dengan pekerjaan kami. Mbak Indah, sekretaris gue masuk ke dalam ruangan kemudian menghampiri gue. Gue yakin dia mau izin pamit pulang.

"Kenapa, Mbak?" tanya gue. Pandangan gue masih terfokus pada kertas-kertas laporan di atas meja gue. Memeriksa satu persatu dengan teliti.

Mbak Indah berdeham sebelum berbicara, "Saya mau izin pamit pulang duluan, Pak. Semua sudah saya selesaikan kerjaan hari ini dan untuk Bapak juga agenda hari ini sudah tidak ada lagi agenda tambahan, semua sudah selesai." ujarnya.

Gue menganggukan kepala mengiyakan perkataan Mbak Indah, "Oh iya, Mbak. Terima kasih. Hati-hati nanti pulangnya." sahut gue.

Mbak Indah mengangguk, "Iya, Pak. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi, Pak," pamit Mbak Indah sambil berjalan mundur hendak meninggalkan ruangan kerja gue. Langkahnya tiba-tiba terhenti lalu dia membalikan badan lagi menghampiri gue. "Maaf, Pak. Hampir saya lupa. Tadi Bu Nukke bilang sama saya, kalau Pak Bramantio titip pesan buat Bapak untuk menghadiri acara makan malam Jumat ini jangan sampai lupa. Pak Bramantio akan menunggu Bapak."

Gue menghentikan pekerjaan gue, meletakkan kacamata yang gue pakai di atas meja di samping tumpukan kertas laporan, kemudian mendongakan kepala menatap Mbak Indah.

Gue menyunggingkan senyum gue lalu mengangguk, "Saya tidak lupa, Mbak. Terima kasih sudah mengingatkan kembali."

Setelah itu Mbak Indah kembali pamit pada gue dan benar-benar meninggalkan ruangan. Gue benar-benar sendirian sekarang. Sambil menyandarkan diri ke sandaran kursi, gue memutar pandangan gue mengamati langit Jakarta yang sudah berubah warna menjadi gelap. Hari sudah malam. Satu lagi hari yang melelahkan berhasil dilalui.

Hidup dalam bayang-bayang orangtua. Diumur pertengahan 20 ini gue diberikan beban untuk mengolah perusahaan. Bukan berarti di masa mendatang tidak akan mendapatkan tanggungjawab yang sama, hanya saja kebanyakan anak seusia gue mengikuti passionnya. Mereka punya mimpi yang mereka kejar. Sedangkan gue? Gue di sini mewujudkan mimpi kedua orangtua gue.

Terkadang gue merasa iri sama Landry, kembaran gue. Kepribadian dan hidup dia ini berbanding terbalik sama kehidupan gue. Dari kecil Landry memang suka memberontak. Yang menurutnya tidak sesuai dengan nalar logika, pasti akan dia tentang. Kehidupannya lebih bebas dari gue dan dia terlihat bahagia dengan pilihannya itu.

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang