22

404 77 32
                                    

Edgar

Althea mungkin menyadari gerak gerik gue yang langsung terlihat berbeda dari biasanya. Seperti maling yang tertangkap basah oleh orang lain. Ekspresi gue tegang, mata gue tidak fokus, gue menatap horror Thea yang sedang memegang ponsel gue–dan gue yakin seratus persen dia membaca pesan dari Anneke.

Gadis itu menoleh menatap gue, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Dahinya berkerut tidak mengerti situasi yang ia sedang hadapi sekarang. Suasana mendadak tegang. Jantung gue berdegup kencang mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Mas, ini... Anneke kok ngirim pesan aneh begini? Anneke minta ditemani ke dokter kandungan. Memang siapa yang sedang hamil?" Tanya Althea masih bingung.

Gue bingung harus menjawab pertanyaan Althea seperti apa. Apa gue harus berbohong? Apa nanti Althea tidak makin curiga kepada hubungan gue dan Anneke? Atau gue harus mengatakan yang sebenarnya saja? Dengan resiko pasti akan berimbas pada hubungan kami berdua.

"Mas?"

Panggilan Althea menyadarkan gue kembali ke realita. Spontan gue mendongak menatap Althea. Dia mengerutkan keningnya, terlihat jelas raut curiga di wajahnya.

"Ditanya kok malah diam, Mas. Memang ada yang salah dengan pertanyaanku?" Tanya Thea lagi.

Rasa bersalah perlahan menyelimuti tubuh gue. Melihat wajah Thea menampakan raut khawatir, gue memutuskan untuk berbicara yang sejujurnya pada tunangan gue itu. Gue gak bisa jika harus berbohong lagi pada gadis di hadapan gue ini.

Setelah menarik nafas panjang dan mengumpulkan keberanian, gue pun memutuskan untuk bilang keadaan gue sekarang yang sebenarnya dan hubungan yang terjadi di antara gue dan Anneke pada Thea. Gue harus mengambil resiko dari perbuatan gue sendiri. Meskipun harus mengorbankan salah satunya.

"Mas-"

"Thea, ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu," ujar gue membuka permasalahan. Good, this will be my end of my life.

Raut wajah gadis di hadapan gue itu seketika berubah menjadi serius. Tubuhnya menegang. Meskipun terlihat tidak seratus persen siap dengan kabar yang akan gue utarakan, Thea siap mendengarkan gue.

"Mungkin sehabis perbincangan ini, kamu akan memiliki pandangan lain tentangku. Dan mungkin setelah obrolan kita hari ini, aku siap jika kamu mau mengubah keputusanmu untuk menikah denganku nantinya. Aku siap dengan segala resiko yang harus aku tanggung setelah ini."

Gue memberanikan diri menatap wajah Althea. Dia menatap gue balik, lalu mengangguk. Mempersilahkan gue melanjutkan ucapan.

"Anneke mengandung anakku."

Suasana mendadak tegang seketika. Althea tak mengeluarkan sepatah katapun menanggapi kabar yang baru saja gue sampaikan. Benar-benar sunyi. Bahkan gue sendiri pun terlalu takut untuk mengeluarkan suara sekecil apa pun.

"Sejak kapan?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Thea setelah hening yang cukup lama membuat gue kembali menatap wajahnya. Gue tidak bisa membaca ekspresinya saat ini. Dia terlihat sangat tenang setelah bom yang baru saja gue jatuhkan.

"Sudah berapa lama usia bayi yang dikandung Anneke?" Althea mengulang pertanyaannya.

"Su-sudah 2 bulan jalan bulan ke 3." Jawab gue dengan canggung.

"Bagaimana bisa Anneke mengandung anak kamu, Mas?" Suara Althea terdengar berbeda dari biasa. Gue sering mendengar Thea berbicara ketika dia sedang serius, tapi yang satu ini terdengar asing. Seperti bukan Althea yang gue kenal.

Gue menarik nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan Thea, "Aku juga tidak tahu, Thea."

Perempuan itu mengerutkan dahinya sambil menatap gue dengan pandangan curiga.

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang