15

418 75 4
                                    

Althea

Sudah beberapa hari berlalu pasca pertengkaran dengan Edgar beberapa waktu lalu. Tepatnya empat hari jika dihitung per hari ini. Edgar sama sekali tidak menghubungiku. Dia seperti menghilang tanpa jejak setelah kepergiannya hari itu.

Aku menghela nafas. Pandanganku beralih dari meja kerja ke jendela besar yang letaknya berada di sebelah kanan dari tempat aku duduk. Ada rasa khawatir yang menyelinap masuk ke dalam batinku jika mengingat pertengkaran kami empat hari lalu. Untuk pertama kalinya kami bertengkar begitu dahsyat.

Dan seperti yang pernah Landry sampaikan padaku. Kami berdua masih sama-sama egois dan keras kepala. Tidak ada satu pun dari kami kemarin yang mau mengalah.

Beberapa hari pasca pertengkaran itu, akhirnya aku bisa berpikir jernih dan menyesal dengan apa yang telah aku perbuat. Seharusnya aku tidak mengedepankan emosiku dan bisa membicarakan baik-baik perihal masalah yang ada. Bukannya malah mencak-mencak karena tidak terima pendapatku ditolak oleh Edgar. Tidak biasanya amarahku meluap-luap seperti itu pada seseorang.

Kedatangan Edgar juga sebenarnya sudah baik. Dia sudah datang jauh-jauh ke sini untuk minta maaf. Seharusnya aku bisa melihat niat baiknya. Tapi aku terlalu dibutakan oleh amarahku pada Edgar saat itu. Padahal Edgar sudah menerangkan sedetail mungkin apa yang menjadi alasannya menolak ajakanku. Meskipun aku sedikit ragu dengan part ketika dia menceritakan perihal kedekatannya dengan Anneke.

Aku menyadari bahwa kontrol diriku ini masih kurang. Masih terbawa perasaan dan terkadang lupa menggunakan akal sehat. Dan karena kebodohan itulah yang mengakibatkan sesuatu yang fatal terjadi dan menjadi penyesalan bagiku saat menyadari bahwa aku juga salah sebenarnya.

Pikiranku sedang menerawang jauh ketika menyadari ponselku bergetar di atas meja. Saat kulihat ID penelepon, terlihat nama Landry terpampang di layar. Aku mengatur nada suaraku dulu agar terdengar sekasual mungkin baru mengangkat panggilan dari laki-laki itu.

"Halo?" Sapaku dengan nada setenang mungkin. Aku yakin dia meneleponku pasti ada hubungannya dengan Edgar.

"Eve, lo dimana sekaramg?" Tanya laki-laki itu tanpa membalas sapaanku.

"Kantor, lah. Dimana lagi?" Jawabku sedikit ketus. Sebenarnya agak kesal karena sudah jelas ini hari masih hari Selasa, seharusnya dia ingat ini masih hari kerja dan sudah tentu aku berada di kantor.

"Oh iya, sorry, gue beberapa hari terakhir gak lihat tanggalan atau pun ingat hari." Terdengar kekehan di seberang sana dan aku pun mengingat satu hal tentang kebiasaan Landry, jika dia tengah sibuk, dia akan lupa segalanya. Termasuk makan, jika kita tidak ingatkan.

"Dimaafkan," sahutku. "Omong-omong, ada apa menelepon aku, Dry? Apa ada hubungannya dengan Edgar?" Tebakku. Jarang sekali Landry menghubungi atau mengunjungiku jika tidak ada hubungannya dengan Edgar.

Landry terdengar menghela nafas sebelum melanjutkan alasannya kenapa menghubungiku hari ini, "Lo tahu gak Edgar kenapa?"

Aku mengerutkan dahi lalu membetulkan posisi duduk menjadi lebih tegap. "Ada apa dengan Edgar memangnya, Dry?" Tanyaku khawatir.

"Beberapa hari yang lalu dia balik subuh dengan keadaan yang gak kayak biasanya, Eve. Bahkan sampai saat ini dia juga kelihatan kosong. Di rumah juga dia kayak mayat hidup." Terang Landry yang membuatku semakin khawatir dengan keadaan Edgar.

"Edgar kenapa, Dry? Dia ada luka gak? Udah kalian coba bawa ke dokter?" Pikiranku sudah kalut. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Edgar. Jika sampai sesuatu terjadi pada Edgar, aku akan merasa sangat bersalah dan tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana pun tentu aku juga ikut terlibat dalam masalah Edgar.

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang