Edgar
Saat gue baru turun dari ruang kerja, pemandangan pertama yang gue lihat pertama kali adalah Althea dan Landry yang saling bertatapan satu sama lain dan berdekatan. Rasa panas kembali menyergap dada gue. Rasa panas yang sama persis gue rasakan ketika gue melihat Althea berdekatan dengan laki-laki bernama Pascal waktu itu.
"Thea, kalian berdua sedang apa berdiri berdekatan begitu?"
Keduanya spontan memutar kepala menatap gue. Mereka terlihat sangat terkejut melihat sosok gue yang tiba-tiba muncul di hadapan keduanya.
"Ah, Mas. Ng-nggak. Aku tadi minta tolong Landry buat ambilkan wadah di atas kabinet." Althea dengan cepat langsung berdiri menjauh dari Landry. Keduanya terlihat canggung dan saling membuang pandangan, tidak berani menatap satu sama lain.
"Nih, wadahnya. Udah ada Edgar, biar Edgar aja yang bantuin lo. Bye." Landry menyodorkan wadah kaca kepada Althea dan berlalu meninggalkan kami berdua. Suasana canggung masih terasa di sekitar kami.
Althea berbalik kembali mencoba fokus pada masakannya yang sempat terbengkalai tadi. Perlahan gue berjalan menghampirinya. Rasa panas masih terasa di dada gue.
"Kamu... tadi ngapain sama Landry?" Tanya gue lagi. Althea melirik sekilas namun kembali serius mengaduk udang di atas wajan.
"Aku cuma mau minta diambilkan wadah aja barusan sama Landry. Wadahnya di kabinet atas. Aku gak sampai buat ambilnya." Jawab Althea. Dia mematikan kompor lalu berbalik menghadap gue.
Dia menatap gue sambil tersenyum jahil. Dahi gue mengerut tidak mengerti arti dari tatapannya itu tapi gue merasakan perasaan tidak enak.
"Kamu cemburu?" Tanyanya, terdengar nada jahil dari suaranya itu.
Gue mengerjapkan mata mendengarkan pertanyaannya itu, "Cemburu apaan? Aku gak cemburu sama sekali ya." Elak gue.
Bukannya berhenti, Althea malah makin gencar menggoda gue. "Nggak, kamu gak bisa bohongin aku. Cemburu kan?"
"Nggak, Thea. Aku gak cemburu. Untuk apa aku cemburu sama saudaraku sendiri?" Gue masih keukeuh dengan omongan gue.
Tawa Althea meledak keras. Baru kali ini dia tertawa lepas seperti itu. Bukan berarti selama gue mengenal dia, dia tidak pernah tertawa. Hanya saja baru kali ini gue melihat dia tertawa selepas ini.
"Edgar, Edgar. Kalau kamu cemburu, gak apa kok. Aku malah senang," Thea menghapus air mata yang mengalir dari matanya karena saking kerasnya dia tertawa. "Itu artinya kamu sayang sama aku."
Gue terdiam mendengar perkataan Althea. Mungkinkah gue sudah terlanjur jatuh sayang pada perempuan di hadapan gue ini?
Teringat kejadian beberapa waktu lalu ketika gue tanpa sadar gue tidur dengan perempuan lain. Sampai saat ini gue belum bisa bercerita pada Althea mengenai kejadian itu. Bagaimana mungkin gue mengatakan hal sejujurnya pada Althea. Bisa-bisa melukai hatinya akibat ketololan gue.
Lamunan gue terusik ketika gue mendengar Althea memanggil nama gue. Perempuan itu menatap gue khawatir.
"Kamu kenapa melamun?" Suara Althea terdengar khawatir.
Gue menggelengkan kepala lalu tersenyum, "Nggak kenapa-napa, Thea. Kepikiran pekerjaan saja." Gue berbohong.
"Kebiasaan. Kamu sudah lapar?" Thea memindahkan udang asam manis ke dalam wadah. Siap disajikan di atas meja. Kelihatannya begitu enak. Air liur gue seakan-akan mau menetes baru menghirup aromanya saja.
"Sangat." Jawab gue singkat. Benar saja perut gue langsung meronta menandakan minta diisi.
Althea terkejut mendengar suara perut gue yang cukup keras lalu kembali tertawa. "Ya sudah, kamu panggil dulu keluarga yang lain. Nanti kita makan sama-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Kalian
Fiksi Penggemar(COMPLETED) Hidup bak putri raja, yang tinggal di istana nan megah dan bergelimang harta tidak membuat Althea menjadi pribadi yang tamak. Justru ia merasa sebaliknya. Gadis itu merasa hidupnya itu tidak sepenuhnya seperti apa yang telah dibayangkan...