18

373 68 6
                                    

Althea

Entah perasaanku saja atau bukan, aku merasakan Edgar seperti kembali menghindariku. Setiap ada kesempatan bertanya kepadanya, Edgar selalu tidak mengaku dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan kami.

Tentu saja aku curiga. Beberapa bulan terakhir berhubungan dengannya aku sudah bisa mengenal kebiasaan Edgar sedikit demi sedikit. Edgar memang tipikal orang yang memendam apa yang sedang ia pikirkan atau rasakan dan jarang mau berbagi dengan orang lain. Ia baru mau bercerita pada orang yang menurutnya bisa dipercaya ketika benar-benar dia merasa sudah tidak bisa menyimpannya lagi sendiri.

Awalnya aku juga membiarkan Edgar. Aku tahu aku tidak bisa memaksa Edgar untuk bercerita kepadaku, tetapi melihat dia menghindariku seperti ini, pasangan mana yang tidak akan berpikiran yang aneh-aneh. Terlebih beberapa waktu lalu hubungan kami baru saja terasa semakin membaik.

Langit sore sudah berubah warna menjadi jingga. Pekerjaanku hari ini tidak ada yang dapat kukerjakan dengan baik. Konsentrasiku terpecah karena kepikiran tentang Edgar.

Aku menghela nafas sambil mencoba merapikan barang-barang milikku. Kuputuskan untuk pulang lebih cepat dari jadwalku yang biasanya. Otakku terlalu lelah untuk dipakai berpikir dan meneruskan pekerjaan yang ada. Aku akan melanjutkannya lagi besok.

Mengenal kebiasaan Edgar yang enggan membuka suara, hal apa lagi yang harus aku lakukan agar dia mau bercerita padaku? Cara seperti apa lagi akan Edgar akhirnya mau membuka suaranya kepadaku?

Terdengar seseorang mengetuk pintu ruanganku. Aku melihat kepala sekretarisku menyembul dari balik pintu.

"Masuk, Mbak." Ujarku mempersilahkan dia untuk masuk.

Sambil tersenyum, dia masuk ke dalam ruangan. "Maaf, Bu. Saya mau izin pulang duluan. Pekerjaan hari ini semuanya sudah selesai. Jadwal Ibu untuk bulan ini juga sudah saya susun. Besok jam 10 pagi Ibu ada rapat dengan perwakilan PT Sinar Rasa untuk membicarakan perihal kerja sama." Pamit sekrektarisku yang kubalas dengan anggukan. Besok akan menjadi hari yang melelahkan lagi untukku.

"Oh, baik kalau begitu. Terima kasih sudah mengingatkan. Silahkan, Mbak. Saya juga mau pulang sebentar lagi." Aku pun mempersilahkan sekretarisku untuk pulang.

"Baik, Bu. Selamat malam."

"Selamat malam juga." Setelah itu aku ditinggalkan sendiri kembali larut pada kesibukanku merapikan kembali barang-barang.

Aku menggelengkan kepala mencoba kembali sadarkan diri dan fokus pada kenyataan. Memikirkan Edgar saja tanpa menemukan solusi tidak akan berakhir baik juga.

Sampai akhir pekan ini aku harus memfokuskan pikiran pada tanggungjawabku terlebih dahulu. Nanti, akhir pekan seperti biasa aku akan mengunjungi Edgar dan keluarganya. Semoga saja hari itu aku bisa berbicara empat mata dengannya  dan Edgar pada akhirnya mau berbicara padaku.

Harapan akan datangnya kesempatan itu muncul dalam benakku. Ya, aku harus bersabar. Bagaimana pun aku yakin suatu saat Edgar pasti mau berbicara jujur kepadaku pada akhirnya.

Dan akhir pekan ini seperti biasa jadwalku datang mengunjungi Edgar dan keluarganya. Biasanya Edgar ada di rumah. Setelah aku memintanya agar dia tinggal di rumah setiap akhir pekan, dia menyanggupi permintaanku tersebut. Laki-laki itu mendengarkan permintaanku dan meminimalisir tiap kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Bukannya aku melarang, tapi aku sendiri khawatir dengan kesehatan Edgar. Aku khawatir dia terlalu memaksakan diri dan berakhir pada kejadian yang tidak diinginkan. Misalkan saja jatuh sakit akibat terlalu memporsir tenaga dan terlalu keras berpikir.

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang