10

499 94 1
                                    

Landry

"Kamu ngerasa ada yang beda gak sih dari Edgar? Aku kok ngerasanya setelah ketemu sama Anne, sikap Edgar ada yang berubah gitu."

Gue meneguk cola dari gelas plastik di hadapan gue dan mendengarkan curhatan Evelyn yang sudah berlalu dari satu setengah jam yang lalu dan masih membahas topik yang sama, Edgar dan perempuan lain yang dia temui di launching cabang restoran milik Evelyn.

"Anne siapa lagi, deh?" tanya gue tak tertarik sambil mengunyah es batu di mulut gue. Kebiasaan buruk gue dari kecil yang tidak pernah bisa dilepaskan hingga saat ini, nyemilin es batu yang ada di minuman gue.

Evelyn memelototi gue kesal. Iya, maklum, gue mendengarkan curhatannya setengah excited setengah sambil malas-malasan.

"Itu lho, pemilik restoran Aloha Waikiki, yang ngobrol sama aku!!" kata Evelyn tak sabaran.

"Yang ngobrol sama lo 'kan banyak hari itu, Eve." celetuk gue. Es batu di dalam minuman gue sudah habis.

Cuaca Surabaya siang ini panas gila. Kalau misalkan gue disuruh membandingkan dengan panasnya Jakarta, kayaknya lebih panasan di sini. Gue sudah biasa dengan teriknya matahari di langit Jakarta.

Hari ini Evelyn minta ketemuan sama gue karena dia bilang ada yang mau diomongin gitu sama gue. Kita janjian di salah satu fast food resto yang ada di Pakuwon Plaza. Kebetulan gue memang belum pulang ke Jakarta karena masih ada urusan perihal kerjaan gue di sini.

Evelyn juga belum pulang ke Jakarta karena urusan mengenai cabang restoran yang baru dibuka dua hari lalu belum kelar. Dia bilang ke gue tadi kalau kemungkinan dia akan menetap di Surabaya paling lama satu bulan. Setidaknya dia pingin melihat perkembangan serta ikut terlibat secara langsung untuk sebulan ke depan.

Edgar sendiri langsung balik keesokan harinya setelah malamnya dia datang ke acara launching restorannya Eve. Si tuan super sibuk itu gak bisa meninggalkan pekerjaannya berlama-lama.

Sebenarnya gue sendiri menyadari perubahan yang terjadi dengan Edgar. Secara dia kembaran gue. Meskipun gue gak begitu dekat dengannya, tapi ada beberapa sifat Edgar yang gue mulai mengerti. Dan setelah pertemuannya dengan cewek yang Eve sebut tadi--siapa namanya? Ane? Ané? Anne? Ah, siapa pun itu gue gak peduli nama itu cewek, gue melihat Edgar seperti menutupi sesuatu dari kami.

Gue gak tahu pergaulannya selama tinggal di London bagaimana. Dia temenan atau bahkan punya pacar siapa juga gue gak pernah mau tahu. Itu urusan dia, bukan urusan gue. Hidup Edgar selama ini yang gue ketahui tuh selalu misterius. Yang terdengar cuma kabar dia always did something that makes my parents proud of him. Pokoknya yang berhubungan dengan prestasinya lha.

Tapi, karena Eve terlihat begitu khawatir, mau tidak mau gue juga ikutan kepikiran sekarang. Dan sebenarnya gue paling ogah terlibat dengan hal-hal macam begini. Apaan, sih? Bikin pening kepala gue aja.

Selama gue jalan sama Evelyn, jarang sekali Evelyn tuh bersikap begini. Maksud gue gak biasanya dia mengkhawatirkan seseorang seperti dia mengkhawatirkan Edgar sekarang. Jaman masih sama gue dulu, Evelyn tuh lebih santai. Bahkan gue ngobrol dengan cewek lain aja dia terkesan gak peduli.

Tiap gue tanya apa dia gak cemburu gue dekat dengan yang lain, dia selalu menjawab: "Bukan Landry namanya kalau gak flirting sana sini. Tapi, kalau memang kamu sayang aku, aku yakin kok kamu gak akan nyakitin aku."

Dih, pede bener. Tapi emang gue sayang dia sih, jadi gue setuju dengan perkataannya. Okay, woman is always right.

Dan gue merasa bingung dengan Evelyn yang lagi duduk di hadapan gue sekarang. Mungkin makin tua makin takut kehilangan sesuatu yang menurutnya berharga di hidupnya. Ya...  emang sih, Edgar itu aset banget bagi siapa pun. Terutama keluarga gue. Atau jangan-jangan...

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang