25

370 71 55
                                    

Sekarang beneran update gak kayak kemarin aku unpub gara-gara gal sengaja kepencet publish hehehe...

***

Edgar

"Edgar!"

Panggilan Anneke membangunkan gue dari lamunan. Gue memutar pandangan gue dan menemukan Anneke yang sedang memerhatikan gue dengan raut wajah yang khawatir.

"Ya?" tanya gue bingung, baru terbangun dari lamunan.

"Kamu kelihatan melamun terus dari tadi. Ada apa? Ada yang sedang kamu pikirkan? Ada masalah di kantormu?" tanyanya dengan nada khawatir yang begitu ketara.

Gue tersenyum dan menggeleng pelan, "Tidak ada, Ne. Saya baik-baik saja, kok."

Anneke terlihat sangsi. Ia tidak percaya dengan ucapan gue. "Yakin? Kalau kamu mau cerita tentang masalah kamu, aku siap mendengarkan, Gar."

Lagi-lagi gue menggeleng, menolak dengan halus untuk menceritakan masalah yang ada di kepala gue kepada Anneke.

"Serius gak ada masalah, Ne. Kamu jangan khawatir, ok?" Anneke menyerah setelah mendengar penolakan gue.

"Selalu begitu," ujarnya tiba-tiba. Gue mendongak menatap Anneke, bingung dengan ucapannya yang tiba-tiba. "Kamu selalu menghindar kalau aku coba tanya mengenai diri kamu. Kamu gak pernah membiarkan aku masuk ke dalam kehidupan kamu."

Gue terdiam mendengar setiap kalimat yang Anneke ucapkan. Bukannya gue tidak pernah sadar dengan kelakuan gue sendiri yang selalu menghindar setiap Anneke mencoba mendekati gue. Tapi, entah kenapa memang hati gue gak bisa membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan pribadi gue.

Antara tidak bisa dan belum bisa, gue gak tahu yang mana jawaban yang pasti. Seperti ada sesuatu yang menghalangi gue setiap gue mencoba membuka diri kepada orang lain.

Ya, setelah Anneke menceritakan kehamilannya pada gue, dan setelah gue memutuskan untuk bertanggung jawab pada bayi yang ada dalam kandungannya, gue memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Anneke. Entah itu mengantarkannya memeriksakan kandungan atau pun hanya sekedar menanyakan perkembangan calon bayi dalam perutnya itu. Hubungan kami hanya sebatas calon orangtua mempersiapkan kelahiran anaknya. Tidak lebih.

Bulan ini, kandungan Anneke masuk dalam hitungan bulan ke 7. Dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan lagi, anak kami lahir. Tapi hubungan kami masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah dalam kehidupan percintaan kami.

Gue tahu, seharusnya gue juga bertanggung jawab menikahi Anneke demi masa depan anak kami. Memiliki orangtua yang utuh dalam ikatan sebuah pernikahan akan melengkapi kehidupan anak gue kelak. Gue sempat terpikir melamar Anneke beberapa waktu lalu. Bagaimana pun juga itu bentuk pertanggung jawaban gue sebagai calon bapak dari bayi yang dikandungnya kelak. Gue juga tahu Anneke menantikan gue untuk melamar dirinya. Tapi hati gue seperti tertahan oleh sesuatu.

Sesuatu yang sudah pergi dan mustahil untuk gue raih kembali. Sesuatu yang sudah pergi akibat kebodohan gue. Dan gue dengan bodohnya baru menyadari betapa berharganya sesuatu itu ketika dia sudah menghilang dari hidup gue.

Gue tahu Anneke terus memerhatikan gue yang tidak menanggapi perkataannya. Mungkin dia kesal menghadapi manusia plin plan seperti gue. Kalau gue jadi dia, gue pun akan merasakan hal yang sama. Kesal pada diri gue sendiri.

Perempuan itu menghela nafas kemudian kembali berbicara, "Ya sudah, lupakan apa yang aku katakan tadi."

"Maaf, Ann..." suara gue terdengar seperti robot. Gue tidak bisa memikirkan kalimat lain selain meminta maaf pada Anneke. Hanya itu yang gue bisa lakukan sekarang.

Di Antara KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang