[31—Annoying]
s n b.
"Katakan bahwa semalam hanyalah mimpi!"
Pukul 9 pagi ketika Sacha terbangun dan menguap lebar. Sepercik ingatan perlahan bermunculan dalam kepala. Saking tak percaya, ia menelepon Queenie dan berteriak marah-marah hanya untuk menyangkal apa yang terjadi semalam antara dirinya dan Jimin.
"Kau tak bisa menyangkal kalau matamu bengkak sebesar itu akibat menangis dipelukan Jimin, bodoh!" Queenie menunjuk mata Sacha yang membesar kala Sacha memindahkan sambungan telepon ke video call.
Sacha tersenyum kecut. "Jika bukan mimpi, mungkin semalam aku mabuk dan—"
"Oh hentikan!" Queenie membuat Sacha bungkam merasa muak sebab ditengah malam begini Sacha menghubunginya untuk hal yang tidak penting. "Kau tahu disini jam berapa?"
"Sorry," ucap Sacha sedikit menunduk karena Queenie terlihat kesal.
"Harusnya kau bersyukur karena setelah sekian lama kau dapat menangis dan menumpahkan semua masalahmu padanya. Aku lega mendengarnya, kau tahu?"
"Tapi kenapa harus Jimin?" Sacha menarik rambutnya sendiri.
"Mungkin itu karena alam bawah sadarmu, atau kau hanya mempercayainya?"
"Tidak mungkin!" sangkal Sacha.
"Hei kau bilang, dari sekian banyak member band yang diawasi olehmu—"
"Tidak banyak, hanya tujuh orang," beritahu Sacha.
"Yeah whatever," Queenie mendelik tak peduli. "Kau lebih banyak menghabiskan waktu bersama Jimin."
"Aku tidak mengatakan itu!" Sacha memprotes. "Aku hanya bilang bosan terus bersama Jimin. Dari mulai harus menemaninya di rumah sakit, mengawasi agar tidak jatuh—kau tahu dia begitu lemah—hingga hal-hal yang buatku muak karena dia sudah seperti anak kandung ayahku sendiri."
"Tapi tetap saja kau menghabiskan banyak waktu bersamanya, mungkin hingga sekarang. Jadi itulah yang membuatmu begitu mudah meruntuhkan tembok yang selama ini kau bangun. Dan fakta bahwa malam itu, hanya Jimin-lah yang mengejarmu."
"Kenapa kau terdengar seperti membelanya?"
Queenie sontak menggeleng dengan wajah polos. "No, i'm not. Aku bicara fakta."
"Aish ... sudahlah bicara denganmu membuatku semakin tak nyaman."
Sacha dan Queenie pun terjadi perdebatan kecil hingga datang Lay dan membuat keduanya memutuskan sambungan video call tersebut. Sadar kalau bicara dengan Queenie tidak mendapat secercah harapan, Sacha menarik rambutnya sendiri lalu mengacak-acak sehingga berantak. Sacha masih tidak terima dengan kejadian semalam. Hal gila yang pernah ia lakukan seumur hidup. Rasanya ingin loncat saja dari menara Namsan.
Sekarang Sacha tidak ada keberanian untuk membuka pintu kamar dan berhadapan dengan Jimin. Bagaimana bila pemuda itu menceritakan kepada member lain? Benar-benar sial.
"Sacha, kau sudah bangun?"
Sontak Sacha terkesiap menatap pintu. Inilah hal yang tidak ingin ia hadapi. Tapi setelah mengingat suaranya, sepertinya itu bukan Jimin ataupun member Bangtan.
"Kau harus segera pergi ke kantor agensi!"
Benar, itu suara Jigamae, Manajer pribadi Jimin. Lantas Sacha bangkit berjalan membuka pintu dan menemukan Manajer Jigame dengan raut terkejut melihat Sacha.
"Kau terkena angin topan dimana?" katanya terdengar di telinga Sacha seperti sebuah ledekan.
Sacha mendengus sebal. "Kenapa Oppa disini?" tanya Sacha mengalihkan topik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacha and The Bangtan
Fanfiction"Jika bukan karena dia putri Sejin-hyung, aku tidak mau terus dijajah oleh gadis menyebalkan seperti Sacha. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib band kami ke depannya. Liat saja nanti."-Namjoon. "Menjadikan si Pembuat Onar itu sebagai manajer...