[42]

1.4K 120 5
                                    

[42—The Truth Untold]

s n b.

Sepasang bola mata itu menatap lurus dengan nyalang. Suara televisi yang memutar sebuah acara komedi tidak dihiraukan. Sesekali bergerak gelisah, mendengus tak nyaman. Apartemen terasa sepi dan lenggang. Bangtan sedang sibuk berada di kantor. Sebentar lagi hari debut tiba. Rasanya Sacha merasa bebas. Dia tidak perlu lagi bangun pukul 2 pagi untuk mempersiapkan segala urusan Bangtan. Senang senang, namun ada sebagian dalam hatinya yang merasakan kalau Sacha pasti akan merindukan momen itu.

Tidak semua hal menjengkelkan yang Sacha rasakan ketika bekerja bersama dengan Bangtan. Terkadang tanpa dia sadari, dirinya memang merasa nyaman ketika bersama mereka. Bangtan selalu hadir sebagai pelampiasan kala Sacha teringat ibunya dan kemarahannya pada Sejin. Berkat Bangtan pula, Sacha dapat melupakan itu dan mengangkat sedikit beban yang dibawanya meski sementara.

Lalu bila kembali mengingat hari itu, dimana Jimin berkata dengan jujur dan serius. Sacha benar-benar terusik. Memang Sacha selalu membuat Bangtan kecewa dengan tingkahnya yang tak mau berkompromi. Meski begitu, ini terasa berbeda. Sacha seolah merasakan kesalahan yang sangat fatal dan dia menyesal. Bahkan ketika dia ingin mencoba membuat semua ini terlihat jelas dengan menghubungi Queenie di malam harinya. Sahabatnya itu membuat Sacha semakin terusik.

"Kau mungkin merasa empati terhadap Jimin yang sudah dibuat menderita karenamu." Queenie malam itu suaranya terdengar serak akibat baru bangun di pagi hari. "Setelah mendengar semua kisahmu dulu. Aku benar-benar setuju dengan apa yang mereka katakan. Kau itu memang penyihir. Gadis egois dan tidak punya perasaan."

Sacha menahan napas. "Aku tahu."

"Bagus bila kau sadar diri." Menohok memang namun Sacha tidak dapat menyangkal.

Sacha lanjut menceritakan tentang dirinya yang mendadak merasa aneh bila Jimin selalu ada didekatnya, terlebih pemuda itu selalu mengatakan hal yang tidak masuk akal dan sukses membuat Sacha membeku. Tentang Jimin yang selalu mengekorinya bila Sacha mendapat masalah sampai menyusul Sacha ke Pulau Jeju. Awalnya Sacha menganggap kehadiran Jimin hanya karena perintah Sejin namun ketika tahu bahwa Jimin sendirilah yang datang tanpa perintah. Sacha tidak tahu harus berkata apa. Jelas bahwa pemuda itu benar-benar berubah menjadi aneh.

"Aku tidak tahu bila dia se-peduli itu padamu. Tapi jika dia benar-benar tulus sampai kalian membuat janji bodoh seperti itu, aku yakin Jimin tidak benar-benar membencimu."

"Maksudmu?"

"Anggap dulu Jimin membencimu. Tapi siapa yang tahu isi hatinya sekarang 'kan? Mungkin kebencian itu hanya kesimpulanmu saja, Sacha."

Sacha merenggut tidak habis pikir. "Ayolah, Quee... Dia hanya kasihan padaku."

"Jika hanya kasihan, mana mungkin Jimin rela menemuimu ke Jeju padahal barusaja keluar dari rumah sakit dan—hei... Lihat faktanya, dia bahkan mencemaskanmu."

"Tapi... —"

"Dengarkan aku." Queenie menyahut cepat. "Mungkin Jimin menyukaimu, Sacha."

Malam itu Sacha tidak berhenti mengumpati Queenie karena segala opininya yang tidak masuk akal. Bahkan Sacha tidak pernah sedikitpun membayangkannya akan seperti itu. Sedikit pun tidak. Sacha masih berpegang teguh pada keyakinannya kalau perasaan semacam itu hanya membuat derita.

"Kau bahkan merasakan hal aneh 'kan?" Queenie terus meracau. "Mungkin kau masih tidak mau menerima karena trauma yang disebabkan oleh ayahmu. Tapi Sacha, aku katakan sekali lagi. Bahwa tidak semua hubungan berakhir merugikan. Yang di alami ayahmu mungkin hanya karena kesalahpahaman atau alasan yang tidak pernah ingin kau cari tahu. Sehingga kau berpikir semua hubungan itu hanya membawa kesialan."

Sacha and The BangtanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang