USA, 3 years later.
"Sacha!" seorang lelaki datang mengenakan tanda pengenal persis seperti yang Sacha kenakan, mencoba mengatur napasnya sekali sebelum bicara lebih lanjut, "Kau dalam masalah."
Sacha nampak masih terlihat tenang dengan jemarinya bergerak menulis atas kertas kerjanya. "Masalah apa?"
Selama Sacha ada di area venue, dia tidak merasa melakukan hal yang salah. Dia bahkan berkorban tidak tidur guna membereskan pekerjaannya yang akan memasuki deadline kecuali dia meninggalkan ruang kerjanya. Takut bila Mr. Ken mencarinya dan tidak menemukan Sacha disana. Tahu sendiri bila Mr. Ken merupakan atasan Sacha yang selalu tidak mau repot mencari.
Lantas seolah diingatkan kembali, Sacha mendongak sembari membenarkan kacamata bacanya yang sedikit melorot dan memandang Lucas didepannya dengan horor. "Apa Mr. Ken mencariku?"
Lucas menggeleng, dia menatap Sacha kalah tegang. "Tidak, ini tentang kedai kopimu yang hancur."
"Kau bicara apa?"
"Tadi Queenie meneleponku, katanya kau tidak bisa dihubungi. Dia bilang telah terjadi kecelakaan lalu salah satu mobil menabrak bagian depan kedai hingga kaca jendelanya pecah dan segala properti hancur. Mobil itu saat ini tengah di derek untuk keluar dari kedai serta-"
Belum selesai Lucas menyelesaikan ucapannya Sacha sudah terbirit-birit lari keluar venue meninggalkan kertas kerjanya yang berjatuhan ke lantai. Tak peduli bila nanti Mr. Ken memarahinya. Yang penting kedai yang membuat Sacha dapat bertahan hidup disini semoga tidak mengalami hal yang terlalu buruk.
Usaha yang telah Sacha rintis dengan modal pengetahuan sewaktu masa kuliah bisnisnya itu ternyata sangat berguna. Tidak salah bila saat itu ayahnya memaksa Sacha untuk berkuliah. Sebab Sacha ingat sekali setelah lulusan sekolah menengah atas, dia sama sekali tidak memiliki tujuan hidup. Kini meski mimpinya ingin mendirikan sebuah kelab malam tidak tersampaikan, Sacha tetap saja merasa bangga berhasil memiliki kedai kopi yang dia kelola sendiri dengan Queenie yang membantu menjaga kedai bila Sacha sibuk di perusahaan label rekaman.
"Oh what the fuck-"
"Watch your mouth." Seseorang memotong kalimat umpatan yang akan di lontarkan Sacha ketika sampai dan melihat kondisi kedainya yang hancur berantakan seolah sudah terkena badai. Memang terkena badai sih.
Pandangan Sacha jatuh pada sosok lelaki yang merupakan teman Sacha yang juga merangkap menjadi seorang barista. Lelaki tinggi dengan warna rambut senada dengan warna iris matanya abu-abu. Namanya Jo. Jo itu lelaki yang pembawaan tenang, lembut dan penuh kepedulian. Dia juga tidak menyukai umpatan. Makanya sifat Jo disertai Sacha yang dekat sekali dengannya berhasil menularkan sedikit sifat Jo pada Sacha. Meski masih perlu ditegur namun Sacha senang karena masih ada yang memperhatikannya.
Seperti saat ini, Sacha lekas mengulum bibirnya tahu bahwa dia salah memberi reaksi. Gadis itu menatap Jo seperti anak yang sedang di marahi ibunya. "Sorry, i was too surprised."
Banyak orang yang beranggapan bahwa Jo tipe lelaki dingin karena garis wajahnya yang tegas serta tatapan tajamnya. Namun mereka salah, melihat Sacha yang cemberut membuat senyuman hangatnya muncul.
"Kenapa kemari? Bukannya kau sibuk."
"Tentu saja aku harus datang. Untungnya Queenie menelepon."
Jo menghela napas. "Sudah aku larang gadis itu tapi tetap saja. Lalu pekerjaanmu?"
"Aku akan kembali setelah melihat seberapa parah kerusakannya."
"Jangan khawatir, aku akan mengurusnya. Lagipula aku sudah meminta pertanggungjawaban pada pemilik mobil itu. Namun sayangnya dia tengah di larikan ke rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacha and The Bangtan
Fanfiction"Jika bukan karena dia putri Sejin-hyung, aku tidak mau terus dijajah oleh gadis menyebalkan seperti Sacha. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib band kami ke depannya. Liat saja nanti."-Namjoon. "Menjadikan si Pembuat Onar itu sebagai manajer...