[49]

1.9K 124 3
                                    

[49—Let Go]

s n b.

Suara pemberitahuan, roda kopor yang melaju dengan sibuk, orang-orang berbaris menunggu didepan jalur kedatangan, orang-orang berbaris memeriksa segala sesuatu untuk keberangkatan, suara pesawat lepas landas, suara tangisan, suara tawaan. Semuanya terdengar sangat nyata bagi Sacha. Terasa nyata sampai Sacha menjadi takut untuk melangkahkan kaki semakin dalam. Apa ini sudah keputusannya yang tepat?

Sacha bahkan tak bisa berpikir dua kali selain mengekori sosok ayahnya didepan sana. Menyeret kedua kopor miliknya persis seperti kejadian 5 tahun yang lalu. Bedanya Sacha kecil dulu yang ditarik paksa lengannya oleh Sejin, kini hanya berjalan lunglai di belakang dengan segala dilema yang menghantui selama perjalanan menuju bandara.

Tidak ada satu orang pun yang tahu kecuali Sejin tentang keputusan Sacha untuk meninggalkan Korea. Itu yang sejauh Sacha tahu. Sejin tidak mengatakan apa-apa. Berarti Sejin masih mengunci mulutnya. Baguslah artinya tidak akan ada mulut yang membuat keputusan Sacha menjadi goyah dengan segala alasan. Meski sekarang dirinya pun tidak yakin.

"Sacha, apa Ayah harus mengantarkan sampai Amerika?"

Sejin mendadak berbalik badan ketika jarak menuju tempat pemeriksaan beberapa meter lagi. Kini wajah tenang Sejin yang Sacha lihat sejak kemarin hilang tergantikan oleh rasa cemas. "Tidak perlu, akan ada Queenie yang menjemputku disana."

Sejin mengangguk pelan. "Baiklah."

Lalu Sejin kembali berjalan namun barusaja tiga langkah, sosoknya sudah berbalik badan lagi membuat Sacha pun terkesiap menemukan wajah Sejin tepat didepan matanya.

"Sacha, kau yakin?"

Sacha memejamkan mata sejenak, menggigit bibirnya menahan kesal sekaligus gemas melihat tingkah ayahnya yang mendadak tidak memiliki harapan dalam kilatan matanya. "Hentikan, Ayah. Kau membuatku sulit."

"Makanya kau jangan pergi."

"Tidak bisa."

"Sekali lagi, Ayah tanya. Kau yakin? Tidak menyesal meninggalkan Ayah disini? Kau bilang kau ingin menghabiskan banyak waktu bersama Ayah tapi kenapa kau yang pergi?"

Sacha tertawa kecil melihat tingkah Ssjin yang konyol. "Sepertinya ada yang salah dengan Ayah."

"Sacha." Sejin memanggil lemah.

Tak ada sosok Sejin yang tegas disini. Hanya sosok ayah yang tidak bisa melihat putrinya pergi. Sacha tahu itu namun apa boleh buat, Sacha sendiri sangat yakin untuk pergi meninggalkan Sejin. Namun sulit jika memikirkan Jimin tanpa memberitahu pemuda itu apa yang Sacha rasakan. Seperti ada sesuatu yang tertinggal tapi apa boleh buat, Sacha tak dapat melakukan apapun. Bahkan hubungannya dengan Jimin sudah tidak baik. Jadi apa yang harus diharapkan? Berpisah dengan cara seperti ini mungkin lebih baik.

Sacha menggeleng pelan. Mencoba menghapus segala pemikiran akan Jimin. Begini lebih baik. Sacha memberikan Jimin waktu untuk bisa menerima dan melupakan perasaanya itu. Sacha harus bisa menahan diri untuk tidal berlari menyusul Jimin dan melakukan hal gila. Sebaiknya tetap seperti ini. Sacha yang tak dapat menjangkau dan terjangkau akan memperlancar karir Jimin ke depannya. Lagipula perasaan Sacha pun pelan-pelan akan hilang. Semudah itu.

Maka Sacha mengambil alih dua kopor yang dibawa Sejin dan menyeretnya ke tempat pemeriksaan. Siapa sangka, sang penjaga yang memeriksa segala surat-surat kelengkapan mengatakan bahwa pesawat yang akan di tumpangi Sacha mengalami delay kurang lebih selama satu jam. Sontak membuat Sejin tersenyum lebar sementara Sacha mendesah lemah. Penjaga yang melihat raut wajah Sacha merasa bersalah dan segera meminta maaf.

Sacha and The BangtanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang