[48—Time]
s n b.
Mungkin terlalu lama tak diacuhkan oleh ayahnya membuat Sacha menjadi pribadi yang sulit menceritakan segala isi hatinya. Jangan salahkan Sacha bila dia lebih nyaman memendam apa yang dirasakannya dibanding bercerita panjang lebar kepada ayahnya. Sedari dulu 'kan Sacha selalu berusaha menarik perhatian ayahnya namun ayahnya sama sekali tidak peduli. Oleh karena itu saat ditanya kenapa Sacha tiba-tiba menangis saat tiba di rumah. Sacha hanya bisa menjadikan luka di siku serta lututnya sebagai alasan.
Ayahnya sontak menggiring Sacha ke sofa. Melihat luka-luka yang didapat pada tubuh putrinya. Tanpa tahu bahwa yang paling sakit bukanlah semua yang terlihat oleh ayahnya melainkan dadanya yang begitu sesak selama perjalanan pulang. Sacha menyesal. Ternyata patah hati itu bisa semenyakitkan ini.
"Sudah tahu terakhir kali kau naik sepeda selama itu masih saja dinaiki. Jadinya 'kan begini."
Sejin bukannya memberi perhatian penuh atau menenangkan Sacha malah mengomel. Bahkan Sacha tak percaya jika ayahnya sudah menyiapkan kopor-kopor Sacha keluar dari kamar seolah hendak mengusir anaknya. Maka semakin jadi pula tangisan Sacha pecah di malam ini.
"Sudah-sudah, lukanya tidak terlalu parah. Sudah diobati juga, jadi tidak akan infeksi."
"Bukan itu...." Sacha berusaha bicara ditengah isakannya. Ini pertama kalinya Sacha menangis didepan ayahnya karena suatu hal lain. Bukan habis dibantak ayahnya sendiri. Serta tangisan ini terdengar manja. "...ayah memang siap aku tinggalkan."
Mengerti dengan yang dimaksud Sacha. Sejin gelapan. "Tidak... Bukan begitu, Sacha. Ayah hanya... Hanya mencoba membantu agar besok kau tidak repot."
"Ayah senang kalau aku pergi?"
Sejin sontak menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Jika kau berubah pikiran, itu bagus. Kita bisa tinggal bersama. Kau, Ayah dan Ibumu bahkan kita bisa mengajak Nenekmu tinggal disini."
Oh bagus... Tawaran yang menarik. Sacha tersenyum tipis. Ayahnya pintar sekali membuat Sacha terpengaruh dan berubah pikiran. Sayangnya Sacha sudah mengambil keputusan bulat. Tak ada yang bisa membuat Sacha goyah. Terlebih Sacha jadi teringat sesuatu menyangkut neneknya.
"Ayah." Sacha mencoba mengalihkan perhatian ayahnya yang sedang mengganti plester pada lutut Sacha. Sementara ayahnya hanya bergumam sebagai jawaban. "Berjanji padaku, Ayah akan meminta Halmeoni untuk tinggal disini."
"Tentu saja." Sejin menjawab penuh keyakinan.
"Tapi jika Halmeoni tidak mau, seringlah mengunjunginya ke Jeju."
"Tidak usah dipinta, Ayah pun akan kesana. Jangan khawatir."
Sacha menatap ayahnya kesal. Mendapati ekspresi wajahnya yang begitu santai. Bukan ekspresi sedih yang Sacha bayangkan, membuat Sacha mendengus kecil. "Ayah sudah terbiasa hidup tanpaku. Pantas saja bisa sesantai itu."
"Lalu Ayah harus apa? Menahanmu? Percuma saja, kau 'kan tetap akan pergi."
Sacha mendelik sebal.
"Jujur saja Ayah sedih bahwa kau ingin pergi ketika keadaan mulai membaik. Tapi 'kan Ayah akan selalu menghubungimu atau sesekali berkunjung ke Amerika. Lagipula kau tidak akan selamanya tinggal disana 'kan?"
Mengidikkan bahu samar-samar, Sacha termenung. Memang niat awalnya hanya ingin menenangkan diri entah sampai kapan. Namun Sacha pun takut bila dia terlalu nyaman berada disana dan tidak ingin kembali. Maka tak bisa bayangkan bagaimana jadinya nanti. "Mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacha and The Bangtan
Fanfiction"Jika bukan karena dia putri Sejin-hyung, aku tidak mau terus dijajah oleh gadis menyebalkan seperti Sacha. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib band kami ke depannya. Liat saja nanti."-Namjoon. "Menjadikan si Pembuat Onar itu sebagai manajer...