"Vero.... kita mau kemana?"
Suasana dingin menyeramkan Qwenly rasakan sepanjang jalan. Vero diam seribu bahasa dengan wajah lurus menatap kedepan. Ia benar-benar terlihat menakutkan. Bahkan hanya untuk sekedar bertanya kenapa bukan Pak Pras yang menjemputnya saja ia tak berani.
Waktu berputar lambat hingga terasa sangat lama, Vero mengarahkan mobilnya kearah sebuah pedalaman jauh dari pusat kota. Jalanan semakin sepi, pohon-pohon semakin rindang hingga membentuk sebuah kenyataan bahwa mereka saat ini berada di jalanan yang terletak di antara hutan. Sunyi, deruan halus mobil dan binatang-binatang kecil yang terdengar mengutari telinga Qwenly serta Vero.
Satu jam akhirnya berlalu. Vero menghentikan mobilnya tepat di bawah perbukitan. Terdapat beberapa orang dan beberapa penjual kaki lima yang tengah menikmati dinginnya udara malam. Qwenly sedikit bernafas lega, melihat mereka berdua tak sendirian membuat pikirannya sedikit meleleh. Vero keluar terlebih dahulu dan langsung membuka jok belakangnya, mengambil tas dan berjalan begitu saja ke atas perbukitan, tanpa mengatakan sepatah katapun pada Qwenly, meninggalkannya dan memaksa Qwenly mengikutinya dari belakang.
"Ve... Vero. Ini sudah malam. Kita mau kemana?"
Jalanan perbukitan ini sangat terang dengan lampu besar yang memang sengaja di pasang di sepanjang jalan. Di seluruh track ini di suguhkan pemandangan indah yang baru pertama kali ini Qwenly lihat. Lampu kota yang berkelip, langit gelap cerah yang berselimut bintang. Hampir saja ia berjingkrak kegirangan sebelum ia menyadari seseorang sedang melemparkan tantrum kearahnya. Ia kembali tersadar dan mengikuti langkah Vero dengan patuh.
Tak lama mereka berjalan, akhirnya Vero berhenti tepat di sebuah rumah pohon dengan lampu kecil berkelip mengelilingi rumah pohon yang berukuran cukup besar itu.
"Ayo..."
Vero mengarahkan Qwenly untuk naik ke atas rumah pohon itu. Qwenly hanya diam mengiyakan dan langsung menuruti kemauan Vero. Qwenly dengan cepat menapakkan kaki dan tangannya ke tangga yang menuju keatas. Saat ia menginjakkan kakinya diatas rumah pohon itu, Vero dengan lihai melompat, bergelantungan pada pagar, dan dengan cepat naik ke rumah pohon dengan waktu yang hampir bersamaan dengan Qwenly.
"Wahh... cantik sekali!" gumam Qwenly.
Qwenly menatap kedalam rumah pohon itu. Seluruh ruangan di dalam rumah pohon itu di hiasi lampu yang terkesan simple tapi sangat elegan, terletak di setiap ujung tembok dan terdapat satu lampu berukuran lebih besar bergelantungan tepat di tengah. Lampu itu di tutupi oleh frame kayu yang benar-benar menyatu dengan suasana rumah pohon. Sebuah kotak penyimpanan ala eropa dengan warna coklat kayu berdiri di pojok ruangan. Sebuah karpet bulu dan meja persegi dengan model serupa dengan kotak penyimpanan bersekat itu terduduk rapi dan apik tepat di tengah ruangan.
"Qwenly..."
Qwenly hanya terdiam, ia menatap kaku kedalam rumah pohon itu. Meskipun ia kagum dengan pemandangan dalam ruangan, tapi ia tak membohongi dirinya kalau saat ini ia masih ketakutan dengan Vero. Mungkin keputusanku untuk mengikuti reuni itu sebuah kesalahan fatal. Andai saja aku hanya mengikuti kemauannya.
"Qwen..."
Qwenly menelan ludahnya dengan pahit dan membalik tubuhnya kikuk. Ia menatap Vero perlahan penuh dengan rasa takut dan bersalah. Tapi ia terkejut saat melihat Vero tengah berlutut, menunjukkan sebuah kotak kecil yang telah di buka. Menunjukkan sebuah cincin emas putih dengan berlian yang sangat besar. "Aku tau aku tak bisa menjanjikanmu banyak hal, tapi... maukah kau bertunangan denganku?"
Qwenly terdiam sesaat, menatap Vero dan kotak kecil itu dengan tajam. "Hmm.... Apa yang kau lakukan?"
"Mengajakmu bertunangan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DELETED SCENES
RomanceAku wanita tak menarik bertubuh gendut, tapi ketika aku terbangun dari tidur panjangku... aku terkejut bukan main. Aku berubah menjadi cantik nan langsing, bahkan kakak angkat laki-laki yang selalu membencikupun, tiba-tiba mengatakan, "Qwenly, seben...