S1. Part 3: Lost

6.1K 345 7
                                    


Sang fajar menyambut dengan bahagia. Aku duduk sambil mengutak-atik berkas-berkas yang berada di pangkuanku sementara mobil hitam mengkilat ini melaju cukup cepat. Baju rapi, celana panjang yang nyaman, dan berkas-berkas serta file-file presentasi lain yang hampir sempurna berada di tas besar yang ku bawa. Barang-barang yang akan sangat sulit bila aku membawanya dengan memeluknya.

Bukan karena perutku yang besar, tapi karena bajuku yang tebal. Biarkan kali ini aku membela diriku sendiri.

Nana langsung menyambutku setibanya aku di depan gedung. Membukakan pintu belakang mobil untukku dan mempersilahkanku.

Wanita yang baik, sebenarnya.

Setiap pagi saat Nana menyambutku, hal pertama yang ku lihat adalah sikap orang-orang sekitar mengenai dirinya. Rok yang hanya menutup pantatnya, heels tinggi, jas dan blouse yang sengaja di buka hingga terlihat belahan dada yang tak bisa di katakan biasa-biasa saja. Membuat seluruh laki-laki mengulum kembali air liur mereka.

Bukannya aku tak ingin melarangnya, tapi aku memberinya kebebasan berpakaian. Aku tak ingin merusak style yang ia yakini bagus itu. Nana adalah tipe perempuan yang benar-benar merawat tubuhnya dengan sangat baik. Tipe orang yang akan dengan mudah masuk ke dalam Club Malam.

Maklum, club malam hanya untuk skinny b**ches sepertinya. Tapi percayalah, meski ia bertingkah demikian, ia benar-benar wanita baik dan lugu.

Kulihati hidung-hidung belang itu. Apa Nana tidak risih? Di pandang, di perhatikan, dan di tatap setajam itu. Bahkan kadang teman-teman laki-laki Nana berani memegang-megang dirinya dengan mudah.

Aku hanya bisa menghembuskan nafasku pasrah memandang keluguannya.

Perasaan itulah yang tak bisa ku pahami. Perasaan yang tak pernah ku rasakan sebelumnya.

***

Jam dinding terus saja berdetik menguras setiap waktu yang ku miliki dengan paksa. Aku selalu merasa bahwa jarum jam itu berputar terlalu cepat. Tak bisakah ia memahami keadaanku yang selalu terburu olehnya?

"Bu... tiga puluh menit lagi kita berangkat..."

"Terima kasih Nana..." lalu sambungan telefon kuputus.

Seluruh persiapan sudah hampir siap. Tapi tiba-tiba perutku terasa sangat mulas. Aku sedikit panik, karena kamar mandi di ruanganku masih tak bisa di pakai sejak seminggu yang lalu. Aku tidak terlalu terburu-buru memperbaikinya, mengingat aku tidak terlalu sering menggunakannya.

Aku semakin panik setelah menit semakin berlalu. Apa aku harus pinjam kamar mandi Vero?

Tidak mungkin.

Akhirnya dengan keadaan tertatih, aku keluar ruangan dengan segala perlengkapanku sebelum berangkat ke Medan, di sore seindah ini, menuju kamar mandi pegawai yang berada di satu lantai di bawahku. Tapi entah mengapa, hanya karena ingin menggunakan toilet pegawai, membuat hatiku merasa tidak tenang. Serasa mengganjal.

Ku toleh meja Nana sudah kosong, mungkin ia sudah bersiap di depan gedung, membuatku langsung meluncur ke arah lift.

Setelah berusaha berjalan menemukan toilet yang berada satu lantai di bawah kantorku, akhirnya aku bisa masuk ke dalam salah satu bilik toilet yang sepi orang dan melakukan semuanya dengan lega di sana.

Dua menit berlalu, aku mendengar detakan heels yang masuk ke dalam toilet. Ia terdengar memasuki toilet ini sambil menghubungi seseorang. Dengan suara itu, aku tau pasti bahwa ia adalah Nana.

Aku ingin menyapanya lewat bilik ini, tapi aku tau hal itu sangat memalukan.

"Iya.... sepertinya aku akan menginap lagi... Huh, menjengkelkan sekali..." ia terdengar sedikit kesal, jangan-jangan ia kesal karena akan berangkat ke Medan denganku?

DELETED SCENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang