Dirga menaruh tasnya di atas meja lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia membuka game yang ada di ponsel tanpa menjawab pertanyaan dari Ayu.
Dengan cepat Ayu mengambil paksa ponsel Dirga begitu saja. “Lo jangan terus fokus pada game. Gue lagi ngomong, Di,” ujarnya.
Cowok itu menghela napas pelan. Memutar pandangan ke arah Ayu. “Lo udah tahu, kan, masalah apa yang sedang gue hadapi saat ini? Jadi gak usah terus bahas masalah itu,” kata Dirga lalu melengos kembali.
“Udah lo gak usah mikirin masalah itu, Di. Sekarang di sekolah, fokus belajar. Sayang, kan, kalau nilai lo turun terus. Lo itu pintar, tapi ... ya, gak usah mikirin masalah itu lagilah pokoknya. Jangan buat masalah itu jadi beban di kehidupan lo. Gue, Udik, Rahman, dan teman-teman yang lain percaya bahwa lo akan kuat menjalani ini semua. Cukup untuk lo menanggung ini semua sendirian. Sekarang lo bebas mau minta bantuan kapan aja, kita siap.”
Perkataan Ayu seakan menjadi penyemangat untuk Dirga. Teman-temannya yang sangat perhatian menjadikan dirinya seolah penting. Namun, semenjak masalah bertubi-tubi menghampiri, dia lebih banyak memendam masalah pribadi itu sendiri, ketimbang berbagi kepada teman-temannya.
Beberapa menit kemudian guru masuk bersama satu siswi. Ayu segera kembali ke tempat duduknya, sedangkan Rahman hanya menetap karena tempatnya memang di depan Dirga dan Udik.
Dirga terus menatap ke arah siswi yang membawa buku mengiringi guru berjalan ke mejanya. Setelah menaruh buku-buku itu di meja guru, siswi tersebut berjalan menuju kursi kosong di samping Ayu. Hal itu membuat Dirga tercengang heran.
Udik menepuk pundak Dirga, menyadarkannya dari lamunan. “Di, lo kenapa?” tanyanya menyelidiki wajah Dirga.
“Dia siapa?” tanya Dirga menunjuk siswi yang berada di samping Ayu.
“Namanya Rafika Zahra. Dia itu murid baru di kelas kita. Pindahan dari Bandung katanya. Makanya, lo jangan bolos lagi biar tahu kalau ada info terbaru di kelas ini. Menurut lo dia cantik, gak?”
“Biasa aja, Dik. Kenapa?”
“Gak apa-apa, sih. Rencananya gue mau mepet dia.”
“Dikira balapan kali, saling pepet.” Dirga tergelak tanpa sebab.
***
Jam istirahat sedang berlangsung, Rafika dan Ayu kini berada di perpustakaan untuk menghabiskan waktu membaca buku. Rafika mengambil dua buku sejarah Islam yang hendak dibaca, sedangkan Ayu hanya mengambil satu buku tentang sejarah perjuangan Indonesia.
“Woy! Ada yang berkelahi di kantin, buruan lihat!”
Dari dalam perpustakaan, mereka berdua mendengar ada siswa yang berteriak di luar memberitahukan bahwa sedang ada perkelahian di kantin. Sontak Ayu langsung berpikiran bahwa itu pasti ulah Dirga. Dia segera meninggalkan tempat duduknya berlari menuju kantin, Rafika juga menyusul.
Benar saja, orang yang sedang berkelahi di kantin adalah Dirga. Ayu dan Rafika melihat Dirga sedang memukuli Andre, siswa kelas dua belas, bertubi-tubi. Semua orang yang berada di kantin histeris melihat wajah mereka berdua sudah lebam, terlebih lagi hidung Andre mengeluarkan darah. Dasi yang membalut jari-jari tangan kanan Dirga sudah berlumuran darah.
“Astaga! Itu Dirga, Yu,” ujar Rafika panik.
“Dirga, berhenti!” teriak Ayu berusaha menghentikan.
Perkataan Ayu tidak didengarkan oleh Dirga. Cowok itu masih saja berkelahi dengan Andre. Keduanya sama-sama tidak mau berhenti. Sementara, Rafika yang baru melihat kejadian itu tiba-tiba saja menghilang dari samping Ayu.
Tidak ada yang berani memisahkan Dirga ketika sedang berkelahi, orang-orang takut kalau nanti jadi imbas, mereka semua hanya diam. Penjaga kantin pun histeris ketakutan. Perkelahian itu baru terhenti saat seorang guru menarik Dirga dengan paksa.
“Berhenti, Dirga!” bentaknya. “Kalian berdua ikut ke kantor sekarang!” Guru itu menarik Dirga dan Andre menuju kantor dengan paksa.
“Dirga udah dibawa ke kantor?” tanya Rafika yang baru kembali.
“Lo yang ngelaporin Dirga ke guru?” Ayu balik bertanya.
Rafika mengangguk. “Iya, Yu.”
“Ya udah, kita susul Dirga ke kantor sekarang.”
Keduanya berdiri di depan kantor dengan penuh rasa khawatir. Rafika memandangi raut wajah Ayu yang terlihat sangat panik. Temannya itu bahkan terus melihat ke dalam kantor untuk memastikan bahwa Dirga sudah keluar dari ruang kepala sekolah.
“Jadi yang dibilang Bu Resti kemarin itu Dirga?” tanya Rafika kemudian.
“Iya, Ra,” jawab Ayu singkat.
“Lo gak usah khawatir berlebihan gitu, Yu. Berdoa aja semoga Dirga gak kenapa-kenapa.” Rafika mencoba menenangkan Ayu.
“Bukan begitu, Ra.”
“Bukan begitu gimana, Yu?” Rafika menautkan kedua alisnya bingung. “Emang Dirga itu pacar lo, ya?”
“Bukan pacar ataupun gebetan, Ra. Gue tahu gimana kondisi Dirga sekarang ini. Lo belum tahu dia, jadi lo gak akan sekhawatir gue. Kalau nanti udah tahu gimana keadaan Dirga sebenarnya, mungkin lo akan sama dengan gue, Ra. Bahkan bisa jadi lebih khawatir. Dirga itu ....”
“Dirga itu kenapa, Yu?”
“Dirga itu―” Perkataan Ayu terhenti ketika mendengar bel masuk berbunyi. “Nanti gue jelasin lagi tentang dia. Sekarang kita masuk ke kelas,” ujarnya menarik lengan Rafika menuju ke kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...