Kemarin, sepulang sekolah Dirga sudah memberikan surat panggilan itu kepada Bi Siti. Dia sengaja menitipkan surat itu kepada Bi Siti lantaran tak mau bertemu kedua orangtuanya. Dirga masih kesal kepada mereka. Keributan yang sering terdengar di rumahnya kini tak lagi didengar selama masih berada di tempat Rahman.
Jangan tanyakan alasan Dirga minggat waktu itu. Dia sengaja melakukan hal itu. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, yang diinginkan Dirga adalah perhatian. Perhatian itu ingin dirasakannya tulus dari kedua orangtua. Terlebih lagi masalah sekolahnya.
“Nah, tuh bel istirahat bunyi,” ucap Rahman ketika mendengar bel istirahat benar-benar berbunyi. Rahman berdiri dari tempat duduknya melihat ke arah Dirga. “Di, go to kantin?” ajaknya.
Tanpa membalas perkataan Rahman, Dirga berjalan keluar kelas lebih dulu. Teman-temannya mengikuti, termasuk Ayu dan Rafika. Tiba-tiba langkah kaki Dirga terhenti di ambang pintu karena ada salah seorang siswi kelas sepuluh menghentikannya.
“Kak Dirga, kan?” tanya siswi itu memastikan seraya menunjuk Dirga.
“Iya, kenapa?” Dirga balik bertanya pada siswi di depannya.
“Kakak dipanggil kepala sekolah sekarang.”
“Masalah?”
“Nggak tahu, Kak. Kepala sekolah cuma nyuruh manggil Kak Dirga aja.”
“Ya udah, terima kasih. Gue bakal ke sana sekarang.”
“Iya, Kak.” Siswi itu berlalu meninggalkan Dirga.
Dirga sama sekali tidak kaget mendengar kalau kepala sekolah kembali memanggilnya. Hal itu sudah diduga sejak tadi pagi. Pikirnya, ini pasti masalah surat panggilan kemarin, tidak mungkin masalah lain. Karena memang, dirinya juga tak membuat masalah lagi selain minggat waktu itu.
“Lo kok santai-santai aja, sih, Di?” tanya Udik heran melihat ekspresi Dirga memang sangat santai.
“Masalah surat panggilan kemarin, ya, Di?” tebak Rafika.
“Buruan gih ke sana. Entar jadi tambah ribet kalau diundur-undur mulu,” suruh Ayu.
“Kalian duluan aja ke kantin, nanti gue nyusul,” kata Dirga pada teman-temannya.
Padahal mereka berlima mau pergi ke kantin bersama, tetapi rencana itu terhenti lantaran Dirga mendapatkan panggilan dari kepala sekolah yang memintanya untuk segera ke kantor. Dengan langkah santai, Dirga segera menuju kantor. Sementara empat temannya berjalan menuju kantin.
Sebelum benar-benar pergi ke kantor, Dirga masuk ke toilet terlebih dahulu. Apa yang akan dilakukan? Karena ini memang sengaja dilakukan agar kedua orangtuanya datang, jadi Dirga harus terlihat rapi. Mulai dari style rambut yang disisir rapi dengan jari, hingga baju dimasukkan persis anak SMA pada umumnya. Dasi juga dipasang rapi.
Dirga keluar dari toilet dengan penampilan kalemnya. Kini dirinya sudah berubah sedikit demi bertemu orangtua di kantor. Dirga sangat berharap salah satu orangtuanya hadir hari ini. Senyumnya mengembang seraya melangkahkan kaki menuju kantor.
Bahkan para murid yang dilaluinya pun tercengang melihat penampilan rapi itu. Beberapa siswi yang memang sudah mengenal Dirga menyapa dengan sorot mata terus menatap cowok itu berlalu. Perubahan Dirga kali ini mencuri perhatian banyak siswa. Banyak juga dari mereka yang heran melihat siswa nakal satu ini berubah.
“Dirga, tunggu sebentar,” cegah Pak Efendi ketika Dirga baru mendekati kantor. Siswa itu menatap gurunya heran. “Hari ini sehat? Nggak sakit, kan?” Pak Efendi menatap tampilan siswanya itu saksama dari rambut sampai sepatu.
“Kenapa, Pak?” tanya Dirga menautkan alisnya bingung.
“Tumben bisa berpakaian rapi.”
“Bukan cuma Power Ranger yang bisa berubah, Pak. Dirga juga bisa berubah, meski sekadar berpenampilan rapi di sekolah.”
“Baguslah kalau penampilanmu rapi begini.”
“Iya, Pak.”
Dirga masuk kantor untuk menemui Pak Burhan. Harapan yang Dirga inginkan bahwa salah satu orangtuanya datang ke sekolah memenuhi surat panggilan itu ternyata harus sirna. Di dalam ruangan kepala sekolah tidak ada orangtuanya, yang ada hanya Bi Siti sedang duduk di hadapan Pak Burhan. Sontak saja hal ini melukai perasaan penuh harap Dirga.
Pintu ditutup pelan. Dirga masih terdiam melihat Bi Siti yang datang. Apa yang menjadi keinginannya kali ini tidak bisa dipenuhi oleh orangtuanya. Kekesalan Dirga menggumpal di dalam benak. Rasa kecewa terhadap kedua orangtua semakin menjadi. Dirga tersenyum paksa pada Bi Siti yang melihatnya.
“Silakan duduk, Nak,” suruh Pak Burhan mempersilakan Dirga duduk di kursi samping walinya.
“Iya, Pak.” Dirga duduk di samping Bi Siti.
“Tadi bapak sudah mengobrol sedikit dengan walimu.” Pak Burhan kembali berucap.
Dirga mengangguk mengerti. “Iya, Pak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Roman pour Adolescents"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...