Kini Rafika menjadi semakin khawatir dengan apa yang Dirga tuliskan di statusnya kemarin. Melihat dari status yang ditulis, kelihatannya Dirga sedang ada masalah. Ketakutan Rafika ini semakin jadi. Ketakutan ini terus saja membuatnya peduli akan kehidupan yang dijalani Dirga, dia bahkan selalu ingin tahu keadaan cowok itu setiap hari.
Mata Rafika menoleh ke dalam sekolah lagi, melihat apakah ada mobil Dirga keluar apa belum. Mobil Dirga sama sekali belum kelihatan keluar dari sekolah. Rafika menghela napas panjang.
Kekhawatiran Rafika juga dirasakan oleh Ayu. Sebagai teman yang sudah sangat tahu bagaimana Dirga, Ayu menjadi khawatir kalau temannya kemarin berbuat yang melebihi batas hingga mendapatkan masalah besar. Mereka berdua sedang berdiri di depan gerbang sekolah menunggu Dirga.
“Di, tunggu dulu.” Ayu melambaikan tangan ketika mobil Dirga hendak keluar dari area sekolah. Mobil itu berhenti di depan mereka.
“Ada apaan, Yu?” tanya Dirga setelah menurunkan kaca mobilnya.
“Gue sama Rafika pulang ikut lo, ya?”
“Ya udah, ayo naik.”
“Makasih, Di.” Ayu menarik lengan Rafika masuk ke mobil Dirga.
“Hai, Yu, Ra,” sapa Rahman yang duduk di samping Dirga. Kedua cewek itu hanya tersenyum merespons sapaan Rahman.
Mobil mereka segera melaju pergi. Laju mobil yang tidak terlalu cepat membuat Ayu berkesempatan menanyakan sesuatu pada Dirga. Pertanyaan yang memang sudah dari kemarin ingin ditanyakan.
“Di, kemarin lo ke mana? Kok, gak balas pesan gue?” tanya Ayu memulai obrolan.
“Kemarin?” balas Dirga berpikir sejenak. “Oh iya, kemarin itu gue tertidur sampai malam di tempat Rahman. Sori kalau gak sempat balas pesan lo.” Dirga tersenyum paksa berkilah untuk menutupi kejadian sebenarnya.
“Serius kemarin lo ketiduran.” Ayu kembali bertanya untuk memastikan.
Pertanyaan Ayu kali ini membuat Dirga merasa gugup, takut salah menjawab dan nanti malah menjadi bumerang buatnya. Dirga benar-benar kelihatan ragu, bersikap seolah tidak mendengarkan Ayu bicara dan hanya fokus menyetir. Dia juga langsung menyetel musik di mobilnya dengan suara keras untuk melenyapkan pertanyaan tadi.
Namun, Ayu tetap bersikeras dengan pertanyaannya itu. Dia menggapai volume musik lalu mengecilkan suaranya sangat kecil. “Lo kenapa sih, Di, kok aneh? Gue cuma mau dengerin cerita lo, kok.”
Sekarang ini Dirga sama sekali tidak berharap mendapatkan pertanyaan mendesak dari siapa pun. Dirga mencoba diam tidak menanggapi Ayu atas pertanyaannya.
“Lo nggak harus diam gini, kami udah tahu kenapa kemarin lo gak ngangkat telepon dari gue dan gak balas pesan Ayu. Lo terlibat masalah dengan orangtua lo, kan?” tanya Rafika berusaha menengahi mereka agar suasana tidak terlalu tegang.
Sontak Dirga kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Rafika. Dia menoleh ke arah Rahman dengan tatapan tajam.
“Maaf, Di. Emang gue yang cerita sama mereka,” lirih Rahman mengakui.
“Gak usah kesal sama Rahman. Gue yang nyuruh dia buat cerita. Emangnya masalah apaan lagi sih, Di?” Rafika kembali memberikan pertanyaan.
“Gak penting bahas gue sekarang!” ketus Dirga.
“Lo itu temen kita, Di. Gue dan yang lainnya mau ngebantu buat nyelesain masalah pribadi lo. Pliss, Di ... pliss. Izinin gue dan yang lainnya terlibat dalam masalah lo, kami akan berusaha buat lo kembali mendapatkan kebahagiaan.”
“Jangan bahas gue, Ra!” bentak Dirga yang mulai pusing dengan pembahasan sekarang. Dirga seolah tidak sadar telah membentak Rafika. Sesaat kemudian dirinya kembali berucap lantaran Rafika mendadak diam. “Maafin gue udah telanjur emosi, Ra. Maaf, gue gak berniat bentak lo,” lirihnya.
“Lo gak seharusnya bersikap begini, Di. Rafika dan gue cuma mau tahu lo kemarin kenapa. Kalau emang itu berat buat lo cerita, ya udah, nggak usah diceritain,” sambung Ayu.
“Lo santai aja, Di. Gak usah emosi juga kali,” kata Rahman menengahi.
Dirga terdiam sembari fokus menyetir.
Ayu mencoba membuat Rafika tenang dengan mengelus punggungnya karena tadi dibentak oleh Dirga yang emosi. Mereka berdua mengerti, paham dengan keadaan sekarang ini. Baik Ayu ataupun Rafika, keduanya memilih untuk diam.
“Udah sampai di rumah lo, Yu.” Dirga menghentikan mobilnya pas di depan rumah Ayu.
“Terima kasih, ya, Di,” ucap Ayu lalu turun dari mobil Dirga.
Cowok itu hanya membunyikan klakson mobil―merespons perkataan Ayu―lalu melajukan mobilnya kembali. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka bertiga, Rafika hanya menatap Dirga dari kaca kecil yang berada di sisi atas cowok itu. Tatapan yang sangat dalam itu membuat Rafika terus berharap agar suatu saat bisa melihat Dirga bahagia.
Namun, sampai sekarang Rafika dan yang lainnya belum menemukan cara untuk langsung masuk ke masalah Dirga. Mereka takut justru nantinya akan malah membuat Dirga semakin marah.
“Lo itu cantik, baik, tapi gak tahu kenapa gue sampai saat ini nggak pernah bisa cuek lagi terhadap lo,” kata Dirga bicara sendiri.
Rahman menoleh ke arah Rafika yang berada di belakang. “Siapa? Rafika?” tanyanya berusaha menebak.
“Diam, Man!” sergah Rafika cepat.
“Santai aja kali, nggak usah ngebentak gitu. Kalau iya, kan, alhamdulillah.”
“Diam atau gue tarik rambut lo?” ancam Rafika yang sudah mencengkeram rambut Rahman dari belakang. Temannya itu meringis kesakitan.
“Ampun, Ra. Ampun. Gue nggak bakal gangguin lo lagi, sumpah,” ujar Rahman yang membuat Dirga cekikikan.
“Makanya, kalau ngomong itu jangan asal-asalan, Man,” celetuk Dirga.
“Lo mending diam aja, Man.” Rafika melepaskan rambut Rahman lalu menatap ke arah luar mobil, melihat apa saja yang dilalui. Sebenarnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian saja, agar pembahasan tidak menyudutkan dia. Rafika takut kalau nanti dibilang baperan.
Dirga yang sedari tadi fokus menyetir, kini menggapai ponsel di depannya. Jarinya mengetikkan sesuatu lalu dalam sekali tekan pesan itu terkirim. Senyumnya terukir kala mendengar notifikasi ponsel dari sisi belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...