Dirga beranjak dari kursinya. Pandangannya menyusuri setiap foto yang terpajang di dinding ruang tamu rumah Rafika. Tatapannya terhenti pada foto Rafika waktu masih kecil, saat mereka masih berada di Bandung. Jelas di bagian bawah foto itu terdapat tulisan “Bandung”.
“Cantik lo emang dari kecil, Ra,” puji Dirga sambil menatap penuh foto itu.
“Ehem!”
Spontan Dirga memutar badannya. “Lagi ngelihatin foto lo waktu masih kecil, Ra. Imut juga, ya, ternyata.” Dirga tersenyum menggoda.
“Iya, itu foto gue masih kecil, Di.” Rafika juga menatap fotonya.
“Lo cantik, Ra.”
Senyum Rafika mengembang seusai mendapatkan pujian dari Dirga.
“Waktu itu kalau nggak salah masih umur lima tahun.” Rafika mulai menceritakan masa lalunya mengenai foto itu. “Dulu gue seneng bisa main sama kedua orangtua setiap waktu, Di. Bandung memang menjadi tempat yang menyimpan sejuta kenangan buat gue. Bahkan, sewaktu masih kecil gue dilarang main jauh, cuma di sekitaran rumah doang, tapi gue tetap bahagia. Dulu, ayah gak sesibuk sekarang. Hampir setiap waktu dia ada di dekat gue terus, seneng rasanya mengingat masa kecil.”
“Kata orang, masa kecil itu masa yang paling menyenangkan.”
“Iya, Di. Meski sekarang ayah gak sesering dulu dekat sama anaknya, tapi gue tahu kok kalau dia sibuk. Gue bisa ngertiin ayah. Gue bahagia kalau ayah lagi ada di rumah, rasanya gak bisa ternilai oleh apa pun.”
“Sekarang dia di mana, Ra?” Dirga melirik Rafika penuh keingintahuan.
“Ayah masih di luar kota, katanya ada urusan kerjaan.”
“Gue belum pernah ketemu sama ayah lo, Ra. Kalau dia pulang kabari gue, ya? Gue mau ketemu sama dia.”
Rafika tergelak pelan. “Ya udah, nanti kalau ayah pulang pasti gue kabari kok. Tapi dia pulangnya masih lama.”
“Kapan?”
“Entahlah.”
“Kenapa gak tanya sama bunda?”
“Udah ditanya, tapi bunda gak jawab. Katanya nanti takut rindu sama ayah.” Rafika mencoba mengulas senyumnya.
Tatapan Dirga kembali ke arah foto Rafika. Tatapan itu sangat dalam, hingga membuat Dirga berucap, “Lo beruntung, Ra.”
“Beruntung kenapa?” tanya Rafika menautkan kedua alisnya bingung ke arah Dirga.
“Ya, lo beruntung sampai sekarang bisa ngerasain bahagia bareng keluarga.”
Rafika menghela napas pelan. “Kalau lo mau bahagia, berjuang. Kalau lo ingin semuanya kembali indah, berjuang. Kalau lo ingin semuanya sesuai dengan apa yang diharapkan, berjuang. Jangan lo terus-terusan diam tanpa ada perjuangan buat perbaiki semuanya, Di. Kita ini manusia, punya perasaan. Perasaan manusia juga bisa berubah. Lo harus yakin dengan itu.”
Benar. Rafika memang benar dengan apa yang diucapkannya. Manusia itu punya perasaan, dan perasaan manusia bisa berubah. Kalau Dirga masih tetap diam di tempat, dia tidak akan menemukan kebahagiaan yang diinginkan. Semua yang dikatakan Rafika barusan langsung dicerna Dirga.
Mereka kembali bertemu dalam satu tatapan. Perkataan seperti inilah yang selalu ingin Dirga dengarkan dari Rafika. Dia selalu menerima semua nasihat yang dikatakan oleh Rafika selama ini, bahkan mulai mencoba membenahi sikap secara perlahan.
“Sekarang gue mau kita pergi ke rumah lo,” jedanya, “biar gue yang jelasin semuanya tentang masalah perkelahian waktu itu. Gue akan tanggung semuanya. Lo percaya sama gue, kan?”
“Gue percaya sama lo, Ra.” Dirga tersenyum semringah.
***
Rafika kini sudah berada di ruang tamu rumah Dirga. Dari hati yang terdalam Rafika benar-benar ingin melihat Dirga kembali bahagia. Setiap hari Rafika selalu menguatkan Dirga untuk terus tegar menghadapi masalah ini.
“Sore, Om, Tante,” sapa Rafika yang langsung berdiri mencium punggung tangan kedua orangtua Dirga setelah Bastian dan Wulandari mendekat.
Baik Bastian ataupun Wulandari, mereka hanya mengangguk sembari tersenyum ketika Rafika menyapa. Mereka berdua duduk berhadapan dengan Rafika dan Dirga.
Sementara itu, Dirga masih diam tanpa menyapa kedua orangtuanya yang sudah berada di hadapannya. Jujur saja, Dirga masih memendam rasa kesal pada papanya karena raut wajah tak menunjukkan senyuman ketika Bastian menatap.
“Di, lo harus sapa mereka,” bisik Rafika.
Sesaat Dirga melirik ke arah Rafika, kemudian beralih kepada Bastian dan Wulandari. Tanpa senyuman, Dirga mencium tangan keduanya. Hubungan yang renggang menjadikan semuanya rumit.
“Kalau begitu saya permisi mau ke belakang dulu.” Bi Siti yang tadi berada di belakang Bastian dan Wulandari pergi meninggalkan ruang tamu.
“Mau pulang?” tanya Bastian menatap Dirga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...