Kedua tangan Dirga meraih gelas yang berisi cokelat panas di depannya. Dia menyeruput pelan. Sungguh kenikmatan ini dirasakan dengan kebahagiaan, bukan apa-apa, dia bahagia karena ini dibuatkan oleh Rafika langsung. Minum cokelat panas ini terasa sangat nikmat karena disuguhkan dengan perhatian.
Sekarang Dirga sedang berada di rumah Rafika karena tadi temannya itu meminta untuk bertemu. Katanya, ada hal yang mau dibahas. Dirga pun hanya mengikuti keinginan temannya saja.
Dirga kembali menaruh gelasnya di atas meja. Dia jadi bingung harus memulai kembali obrolan dari mana, sedangkan Rafika sendiri masih terlihat menikmati cokelat panasnya. Dirga melirik Rafika diam-diam. Tatapan mereka bersatu ketika Rafika juga melirik Dirga sambil menyeruput minumannya.
“Panas, ya, Ra?” tanya Dirga bodoh.
Rafika menaruh kembali gelasnya. “Nggak panas kok,” jawabnya.
“Lo hebat bisa nahan panas.”
“Nggak akan panas kalau ada lo di sini, Di.”
Rafika berhasil membuat Dirga tersenyum. Apa yang terjadi dengan mereka berdua? Rafika membuat Dirga gelagapan di hadapannya. Ah, Rafika bisa dengan mudahnya membuat situasi jadi canggung.
“Tadi katanya ada yang mau dibahas. Emangnya mau bahas apaan, Ra?” Dirga mengalihkan pokok pembahasan mereka.
Jujur, sebenarnya sulit bagi Dirga kalau harus selalu diperlakukan seperti ini ketika di hadapan Rafika. Dia tidak terlalu pandai menyembunyikan perasaan ketika ada orang yang berani menggodanya. Ibaratnya, Dirga sekarang ini sedang merasakan apa yang pernah dia lakukan juga terhadap orang lain, perhatian berlebihan itu dirasakannya.
“Mulai besok lo harus pulang ke rumah, ya, Di. Lo gak harus terus-terusan bersikap begini. Lo itu cowok. Cowok itu bisa ngambil keputusan sendiri dan nerima apa pun risiko yang nantinya dihadapi. Gue mau lo pulang, Di.”
“Lo emang benar. Tapi, yang sampai saat ini masih jadi pikiran adalah kedua orangtua gue masih bertahan dengan ego masing-masing. Gue gak mau kembali ke rumah lagi dan dengerin ocehan mama sama papa. Gue lelah, Ra. Gue butuh ketenangan.”
“Gue bisa bantu lo buat ngomong sama mereka, Di.”
“Mau ngomong gimana pun percuma, gak ada gunanya. Mama sama papa gak bakalan dengerin.”
“Kalau mau berusaha pasti membuahkan hasil, Di. Lo dan gue harus yakin kalau ini semua ada jalan keluarnya. Gue udah pernah bilang sama lo kalau gue pasti akan bantu. Jadi gak usah khawatir kalau kedua orangtua lo masih cekcok.”
“Gak ada gunanya, Ra.”
“Kenapa lo jadi gak yakin gini, sih?”
“Bukannya nggak yakin, tapi gue ngerasain ini udah lama. Gue udah tahu jelas gimana sifat mereka.”
Rafika berdiri dari tempat duduknya beralih berdiri di hadapan Dirga yang sedang duduk sambil memegangi kepalanya. Kedua tangan Rafika mengangkat kembali kepala Dirga, kemudian dia menunduk sejajar dengannya.
“Di dunia ini gak ada yang gak mungkin, Di,” jedanya, “lo harus yakin sama diri sendiri. Lo harus tetap berusaha membuat semua ini kembali indah. Lo gak harus terus-terusan menghindar dari orangtua karena itu percuma. Itu gak akan buat kedua orangtua lo tenteram, malahan mereka kembali saling menyalahkan satu sama lain karena lo kabur dari rumah.” Mata Rafika mulai berkaca-kaca seiring perkataan serius itu keluar.
Dirga menatap Rafika dengan sangat dalam. Apa yang diucapkan Rafika itu memang benar. Dia seharusnya tidak lari dari masalah, ini bukan cara yang tepat untuk mencari kebahagiaan. Ini bukan cara untuk menyelesaikan semua masalah.
“Lo jangan sedih, Ra.” Dirga menyeka air mata yang mulai keluar dari sudut mata Rafika. Tak pernah dibayangkan kalau malam ini akan berlinang air mata.
“Lo harus tetap yakin sama diri lo sendiri, Di.”
Setiap orang pasti memiliki masalah pribadi masing-masing. Namun, anggaplah ini sebuah ujian untuk diri sendiri ketika kita sedang dalam masalah. Jangan pernah sekali pun untuk menyerah karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi bila kita benar-benar merasa gagal dalam menjalaninya. Kita harus tetap bertahan, berjuang mencari titik terang dalam masalah kita, lakukan itu jika sudah menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Yakinlah bahwa akan ada keindahan setelahnya.
“Terima kasih lo udah ada buat gue, Ra.” Dirga menarik tangan Rafika untuk berdiri.
Keduanya lekat dalam pelukan erat. Satu sama lain tidak ingin melepaskan pelukan dengan cepat. Mereka berdua berbagi kesedihan bersama. Inilah situasi di mana kita harus bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.
Rafika terus sedih seiring Dirga yang masih memeluknya erat. Dirga melepaskan pelukan mereka. Dia mengusap air mata Rafika hingga kering dan mencoba menenangkan perasaannya.
“Jangan pernah jauh dari gue, ya, Ra.”
Tiba-tiba saja satu kecupan mendarat di kening Rafika. Dirga memberanikan diri mencium Rafika untuk pertama kalinya. Kecanggungan dirasakan oleh keduanya setelah apa yang Dirga perbuat barusan.
Rafika tertunduk menahan rasa yang tak bisa dijelaskan sekarang ini. “Seharusnya lo gak perlu berbuat kayak barusan, Di,” lirihnya.
“Maaf kalau itu buat lo gak nyaman, Ra.”
“Bukan begitu. Entah kenapa ada sesuatu yang membuat gue takut setiap lo memberikan perhatian berlebihan.”
Dirga menghela napas pelan. “Lo akan selalu merasa bahagia kalau ada di dekat gue. Begitu juga sebaliknya, Ra. Gue akan bahagia ketika berada di dekat lo.”
“Gue janji akan selalu ada untuk lo, Di.”
Kondisi sekarang ini menjadikan keduanya seperti sedang dipaksakan oleh satu perasaan yang entah perasaan apa itu. Perasaan ini hadir di antara keduanya yang terlihat sudah kembali tersenyum, kesedihan mereka mulai menghilang.
Tiba-tiba saja ponsel Dirga berbunyi. Dirga izin pada Rafika untuk mengangkat telepon itu sebentar. Tak lama kemudian, Dirga kembali mendekati Rafika dengan raut wajah membingungkan.
“Siapa yang nelepon barusan?” tanya Rafika ingin tahu.
“Mama yang nelepon, nyuruh pulang sekarang. Katanya, sih, ada yang mau dibahas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...