“Dirga ada di tempat lo, gak?”
“Iya, Dirga di tempat gue. Emangnya kenapa, Dik?”
“Ayu dan Rafika nanyain dia mulu dari tadi. Katanya Dirga gak ngangkat telepon dari Rafika, pesan Ayu juga gak dibalas. Kenapa? Bilang sama Dirga terima telepon dari Rafika atau balas pesan dari Ayu, gue udah gak tahan denger ocehan mereka, Man.”
Rahman terkekeh sebentar mendengarkan keluh Udik. “Wajar Dirga nggak ngangkat telepon dari Rafika dan balas pesan dari Ayu. Lah, orangnya juga lagi tidur.”
“Ya udah, mereka berdua mau ke tempat lo sekarang.”
Belum sempat Rahman membalas perkataan itu, Udik sudah memutuskan sambungan telepon mereka. Rahman pun hanya menggeleng. Selang lima belas menit kemudian, benar saja bahwa Ayu dan Rafika datang ke tempatnya.
“Dirga, lo kenapa?!” Ayu yang baru saja mendekat langsung memberikan pertanyaan.
Perkataan itu membuat Dirga terbangun dari tidurnya. Cowok itu membuka mata, melihat dua temannya yang baru datang. Sementara, Rafika berdiri di samping Ayu. Mereka menghadapi Dirga yang kini sudah duduk biasa.
“Kenapa, Yu?” tanya Dirga.
“Lo ada masalah apaan sih, Di? Cerita ke kita, jangan dipendam sendirian,” kata Ayu.
“Gak penting juga masalah gue, Yu.”
“Gue takut kalau lo jadi frustrasi, Di.
“Lo nggak usah sampai segitunya kali. Gue baik-baik aja. Tenang, ini cuma masalah utang gue sama seseorang, kalian gak perlu khawatir.” Dirga tersenyum sesaat.
“Gue tahu lo gak bakalan minjem uang sama orang lain. Lo itu punya banyak uang, gak mungkin lo ngutang ke orang lain.” Ayu yang sudah tahu betul dengan keluarga Dirga, tak mudah percaya akan perkataan itu.
Tiba-tiba saja Dirga tertawa tanpa sebab. Apa yang dibilang Ayu barusan menurutnya lucu, padahal sebenarnya itu hanya mengalihkan pembahasan mereka. Dirga tak mau terus ditanya seperti itu.
“Lo nggak usah maksain buat bahagia, Di,” kata Rafika dengan berani.
Tatapan Dirga teralih ke Rafika. “Emang salah kalau gue ketawa?”
“Nggak salah, sih, tapi lo harus jujur apa adanya, Di.” Rafika tersenyum.
“Lo kenapa sih mau dekat sama gue?”
“Gue mau jadi temen dekat lo, Di. Boleh, kan?”
“Kalau lo emang mau jadi temen dekat gue, nggak perlu izin. Gak guna, buang-buang waktu.”
“Gue bakal bantu lo buat nyelesain masalah.”
“Terserah lo.” Dirga melengos kembali menatap Ayu. “Gue minta agar lo jangan terlalu khawatir, Yu. Lo, kan, tahu kalau gue udah biasa ngadepin masalah. Tenang, gue tetap bahagia.” Dirga mengulas senyumnya, meski terpaksa.
“Lo gak harus bersikap kayak gini, Di. Semua permasalahan gak akan selesai kalau lo tetap merasa sendiri. Lihat sekitar lo, ada kita. Apa pun masalah yang lo alami saat ini, bagi ke kita, ceritain semuanya. Kita bakal bantu lo buat selesain ini semua. Memendam masalah sendirian bukan alasan yang tepat,” kata Ayu panjang yang membuat Dirga terdiam.
“Gue juga mau bantuin lo untuk nyelesain masalah. Gue, Ayu, Udik, dan Rahman mau hidup lo itu tenteram, nyaman, bahagia setiap harinya, bukan malah jadi begini. Jadi anak nakal bukan pilihan yang tepat, Di. Lo pasti tahu kenapa gue sangat ingin membantu, meskipun gue ini temen baru lo,” sambung Rafika.
Dirga beranjak dari tempat duduknya menuju mobil untuk mengambil barang bawaannya tadi. Dia kembali mendekati teman-temannya, kemudian berucap, “Mending kalian pulang aja dulu, gue mau istirahat. Mungkin saat ini gue mau tinggal di tempat Rahman dulu.”
“Sampai kapan, Di?” tanya Ayu.
“Entahlah. Yang jelas gue gak mau pulang dulu, pusing di rumah denger mama sama papa ribut. Di rumah juga gue serasa hidup sendiri, Yu. Beruntung ada Bi Siti, jadi ada yang nemenin di rumah itu.”
Rahman berdiri menghadapi Dirga. “Kalau lo mau tinggal di sini, ya, silakan. Gue gak akan ngelarang. Gue tahu apa yang lo rasain sekarang ini berat. Bawa masuk sana barang-barang bawaan lo.”
“Lo emang temen gue yang pengertian, Man. Thanks, ya.” Dirga senang mempunyai teman seperti Rahman yang sangat pengertian.
“Ya udah, kalau begitu kami pulang dulu, Di. Lo jaga diri baik-baik, jangan membuat masalah lagi. Ingat, jangan bolos sekolah lagi.” Ayu kembali bersuara.
“Terima kasih karena udah ngizinin gue jadi temen lo, Di,” lirih Rafika menatap Dirga. Cowok itu hanya diam tak merespons.
Dirga tak mengindahkan perkataan Rafika barusan, matanya malah tertuju pada Ayu. “Iya, lo tenang aja. Hati-hati di jalan, Yu,” katanya. Cewek itu tersenyum mengerti.
“Man, kami pulang dulu, ya,” ucap Rafika. Rahman mengangguk. Setelah itu, Rafika segera mengajak Ayu pergi meninggalkan tempat Rahman dengan menggunakan mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...