Part 18

238 22 9
                                    

“Kesibukan Papa sama mama membuat Dirga seperti orang asing di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kesibukan Papa sama mama membuat Dirga seperti orang asing di rumah. Pagi, bergegas pergi ke kantor tanpa mau membangunkan Dirga mengingatkan untuk sekolah. Bahkan Papa sama mama nggak pernah lagi menyempatkan diri sarapan di rumah. Sepenting itukah tugas kantor? Dirga ingin Papa sama mama tahu bahwa di rumah masih ada Dirga.”

Dirga menghela napas panjang sembari menenangkan perasaannya. “Dirga ingin berkumpul bersama dengan keluarga yang harmonis, tanpa ada masalah. Perlu Papa tahu, bahwa pertikaian selama ini membuat Dirga terpuruk. Sekarang Dirga tahu apa maksud Papa menyuruh untuk mengurusi semuanya sendiri. Terima kasih atas respons yang mengejutkan ini, Pa. Dirga akan selalu mengingat kejadian hari ini.”

“Dirga ...,” lirih Bastian.

Dirga keluar dari ruangan itu penuh kesedihan. Kakinya dengan cepat terus melangkah menuju mobil lalu pergi dengan kecepatan tinggi meninggalkan kantor papanya. Bukannya menyelesaikan masalah saat menemui orangtua, Dirga malah mendapatkan masalah lain lagi.

Hari ini menjadi hari yang paling buruk dalam hidup Dirga. Kesalahan fatal yang terjadi hari ini akan selalu membekas dalam ingatannya.

“Hal yang paling menyakitkan hari ini akan gue ingat selamanya!”

Dalam hitungan detik, status yang ditulis Dirga di Whatsapp itu mendapatkan respons dari teman-temannya, terutama Ayu dan Rafika.

“Lo kenapa lagi, Di?”

Pesan dari Ayu langsung dihapus oleh Dirga begitu saja.

“Di, pliss ... jangan buat masalah lagi. Gue gak mau kalau lo kembali mendapatkan masalah.”

Pesan dari Rafika pun juga dihapus setelah selesai membacanya.

Sesampainya di indekos Rahman, Dirga langsung menuju teras untuk duduk di kursi. Tubuhnya disandarkan ke dinding dengan kedua mata mulai dipejamkan. Rahman keluar setelah mendengar mobil Dirga datang.

“Di, lo kenapa lagi, sih?” tanya Rahman to the poin. “Maksud status yang lo tulis itu apaan?”

“Man, lo ada obat tidur, gak?” tanya Dirga mengalihkan pembahasan tanpa melihat ke arah Rahman. Matanya masih menutup karena disengaja tidak ingin diketahui oleh Rahman bahwa dia baru saja menangis.

“Nggak ada. Emang untuk apaan?”

“Gue mau istirahat cukup lama, Man. Pusing mikirin masalah mulu.”

Rahman menghela napas pelan. “Di, semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya. Lo harus tetap kuat menjalani ini semua. Lo jangan nyerah. Gue yakin lo bakal bisa bahagia. Di dunia ini semua orang pasti mempunyai masalah, bukan cuma lo, doang.”

“Gue lagi gak mood dengerin ceramah lo, Man!” ketus Dirga.

“Sampai kapan lo harus ngerasain ini semua? Mau sampai kapan, Di?!” Kali ini nada bicara Rahman sedikit meninggi. Temannya itu langsung membuka mata dan menatapnya tajam. “Lo bukan anak kecil lagi! Lo bisa mencari jalan keluar untuk masalah diri sendiri. Lo jangan terlalu egois, Di. Kalau memang nggak mampu untuk sendiri, minta bantuan. Kita siap bantu lo kapan pun.”

“Kalau gue minta bantuan sama kalian, apa masalah itu akan selesai? Mustahil, Man.”

“Lo jangan pesimis gitu. Harus yakin.”

Dirga menghela napas gusar. “Asal lo tahu, dari kemarin berharap salah satu orangtua gue bisa dateng ke sekolah, Man. Itu yang gue harap, tapi apa? Apa? Satu pun gak ada, Man. Mereka sibuk dengan kerjaan masing-masing, yang ada malah Bi Siti disuruh dateng.”

“Terus?”

“Gue kecewa sama mereka, Man. Gue dateng ke kantor papa mau minta penjelasan kenapa nggak bisa dateng, tapi malah diberi tamparan. Kalian gak akan pernah ngerasain berada di posisi gue, Man! Nggak akan pernah!” Dirga malah balik marah-marah di hadapan Rahman.

Rahman yang melihat hal itu seketika menjadi gentar. “Lo tenangin diri aja dulu, Di. Gue mau masuk. Istirahat aja dulu di sini, entar kalau udah mendingan masuk. Jangan emosian, tenangin diri lo,” katanya langsung berlalu masuk kembali ke indekos.

Dirga mendengkus kesal. Dia kembali menyandarkan punggungnya di kursi dan perlahan mulai memejamkan mata agar pemikiran bisa tenang. Ponsel yang berada di saku celananya terus bergetar dan beberapa kali mendapatkan notifikasi pesan masuk. Meskipun begitu, Dirga sama sekali tak menghiraukan.

Diandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang