Kini Dirga sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Di sekolah tadi Dirga malah memperlakukan Rafika semena-mena lantaran kehadiran Indira. Cowok itu malah membuat Rafika terdiam dengan ucapannya. Dirga masih saja ketus dan bersikap apa adanya.
Sesampainya di rumah, Dirga sudah dibuat kurang nyaman dengan keributan kedua orangtuanya―yang entah sejak kapan pulang dari kerjaan mereka. Dirga menerobos kedua orangtuanya yang sedang bertengkar di ruang tamu, dia bergegas menuju kamar.
“DIRGA!” teriak Bastian, papa Dirga, dari ruang tamu.
Dirga sendiri mendengar teriakkan itu, tetapi dirinya tidak mau menjawab. Setelah mengganti pakaian, Dirga segera turun untuk menghampiri papanya yang memanggil. “Ada apa, Pa?” tanya Dirga.
“Papa dapat laporan dari kepala sekolah kalau kamu terlibat perkelahian lagi. Harus berapa kali dibilang, jangan berkelahi! Jangan membuat masalah! Kamu ini jadi anak memang susah diatur.”
“Kenapa kamu berkelahi?” tanya Wulandari, mama Dirga.
“Nggak apa-apa, Ma. Itu urusan Dirga,” jawab Dirga santai.
“Urusan kamu, urusan kami juga!” Bastian langsung menimpali.
“Oh, urusan Dirga juga jadi urusan Papa sama Mama? Sejak kapan?” Dengan lancang Dirga mengatakan hal itu di hadapan kedua orangtuanya.
Bastian menghela napas gusar. “Kalau bicara di hadapan orangtua itu yang sopan.” Spontan Bastian ingin menampar Dirga, tetapi terhenti karena Wulandari langsung menahannya.
“Jangan sesekali berani nampar Dirga!” kecam Wulandari menatap suaminya. Dia tidak akan membiarkan suaminya menampar Dirga.
“Kalau mau nampar Dirga, silakan. Dirga gak akan melawan.” Dirga malah menantang papanya untuk melakukan hal itu. “Asal Papa tahu, nggak ada orang yang perhatian sama Dirga selain Bi Siti!” tegasnya sangat dalam.
Bastian menyingkirkan tangan Wulandari. “Sikapmu yang seperti ini sudah keterlaluan Dirga. Kamu nggak pernah mengerti kalau kami ini sibuk dengan urusan kantor. Kamu sudah dewasa, jadi bisa mengurusi semuanya sendiri,” katanya.
“Bukan Dirga yang nggak mengerti, tapi Papa sama Mama. Kalau Papa mau Dirga mengurusi semuanya sendiri, Dirga terima. Jangan menyesal dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Papa.” Setelah mengatakan itu, Dirga bergegas naik ke lantai dua menuju kamarnya.
Dirga mengemasi seragam sekolah dan beberapa pakaian sehari-hari ke dalam tas. Setelah semuanya selesai, Dirga kembali mendekati kedua orangtuanya yang sedang menatapnya menuruni anak tangga.
“Mau ke mana kamu?” tanya Wulandari melihat Dirga sudah bersiap akan pergi.
“Sudah, nggak usah ditentang, percuma,” ujar Bastian.
“Dirga mau cari tempat nyaman, Ma. Kalau tetap di rumah ini Dirga gak akan hidup dengan tenang. Dirga pusing terus denger pertikaian Papa sama Mama,” balas Dirga lalu menyalami tangan mamanya. “Dirga pergi dulu, Ma. Assalamualaikum.” Dengan yakin, cowok itu berjalan pergi.
“Dirga ...!” panggil Wulandari.
“Dirga gak akan mampu hidup sendiri. Biarkan dia pergi. Papa yakin kalau besok Dirga pasti akan kembali.” Bastian menahan istrinya yang hendak menyusul Dirga menuju mobil.
Meskipun Bastian bukan orangtua kandungnya, tetapi Dirga tetap menganggap dia sebagai orangtuanya. Dirga tidak mau kalau Wulandari kembali harus merasakan kegagalan dalam berumah tangga seperti dulu. Cukup satu kali Dirga melihat mamanya kecewa karena sudah gagal membina rumah tangga.
Hal yang juga dibenci oleh Dirga adalah perubahan sikap mamanya. Dulu, Wulandari sangat perhatian pada dirinya, apa pun akan dituruti asal Dirga senang. Namun, sekarang sifat Wulandari sama saja seperti suaminya yang sekarang. Imbasnya, Dirga kurang mendapatkan perhatian.
Ternyata Dirga menuju indekos Rahman. Dia memarkirkan mobilnya di depan indekos, lalu keluar mobil menuju depan indekos itu. Tak lama, Rahman keluar menghampiri Dirga. Rahman sudah tidak asing lagi dengan suara mobil temannya itu.
“Lo kenapa lagi, Di?” tanya Rahman yang sudah duduk di samping Dirga.
“Lo gak usah tahu, Man,” jawab Dirga cepat.
“Gue nanyanya serius, Di. Kalau ada masalah ceritain, jangan dipendam sendirian.”
“Ada masalah sedikit, Man.” Dirga mengeluarkan ponselnya dari saku celana, kemudian membuka WhatsApp. “Bukan ini yang gue mau!” bacanya setelah mengirimkan status itu. Dirga menaruh ponsel di atas meja di depan mereka, setelahnya menyandarkan punggung ke dinding. Perlahan matanya mulai menutup.
“Lo nggak seharusnya terpuruk begini, Di,” lirih Rahman. Dia membiarkan temannya itu beristirahat. Rahman lebih memilih bermain game di ponselnya sembari menemani Dirga yang sudah tertidur.
Berkali-kali ponsel Dirga berbunyi, tetapi tidak ada yang mengangkatnya. Itu telepon dari Rafika dan beberapa pesan dari Ayu. Jangankan membuka, Rahman sendiri pun tidak berani menyentuh ponsel milik Dirga.
Seketika ponsel yang sedang digenggam Rahman berbunyi. Dia mendapati Udik meneleponnya. “Iya, kenapa, Dik?” tanyanya to the poin setelah menerima telepon dari Udik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Genç Kurgu"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...