“Ya udah, pulang sana. Titip salam buat mamamu, ya.” Rafika tersenyum.
“Iya, pasti diomongin, kok. Kalau begitu aku jalan dulu, ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan.”
Dirga segera pergi ke rumahnya karena ada hal penting yang mau dibahas oleh mamanya. Tak lama, mobil yang dikendarai Dirga berhenti tepat di depan rumahnya. Dirga turun lalu bergegas membuka pintu rumah yang kebetulan sudah terbuka sedikit.
“Ada apa, Ma?” tanya Dirga langsung.
Seketika Dirga bergeming setelah melihat Indira sedang duduk di dekat mamanya sembari tersenyum. Pertemuan ini seharusnya Dirga hindari. Andai saja dari awal tahu kalau dirinya akan dipertemukan dengan Indira, Dirga pasti tidak akan pergi dari rumah Rafika.
Wulandari berdiri dari tempat duduknya mendekati Dirga. “Ayo, sekarang kamu duduk dulu.” Dia menuntun anaknya untuk duduk di sofa ikut bergabung mengobrol.
Dirga duduk di samping mamanya―berbeda kursi dengan Indira yang berada di hadapan mereka. Meja di tengah menjadi pembatas antara Indira dan Dirga.
“Apa yang mau dibahas Ma? Katanya ada yang penting.”
“Mama ingin kamu minta maaf dan bersikap baik pada Indira juga Arka,” terang Wulandari.
“Salah Dirga apa, Ma?” Dirga mengernyitkan dahinya bingung.
“Kamu nggak salah kok. Gak ada yang salah dalam hal ini, tapi alangkah baiknya kalau kamu bisa bersikap baik terhadap Indira di sekolah ataupun di luar sekolah. Bisa, kan?”
“Kenapa Dirga harus nurutin permintaan Mama?”
“Indira ini orangnya baik, Sayang. Gak mungkin Indira mau buat kamu marah kalau gak ada sebab. Indira sudah ceritain semuanya gimana sikap kamu terhadap dia saat di sekolah. Mama gak mau kalau kamu jadi benci sama dia hanya karena kalian sudah gak ada hubungan lagi. Lagian dia sudah menyesali perbuatannya dulu sama kamu. Dia pasti punya alasan sendiri melakukan hal itu.”
“Menyuruh orang lain untuk mengganggu Rafika. Itu yang diperbuat Indira, Ma. Indira menyuruh Arka untuk mengganggu Rafika, bahkan dia merekam aksi temannya itu yang memeluk paksa Rafika, Ma. Indira keterlaluan.”
“Tapi, kan, kamu gak harus memukuli temannya.”
“Gak bisa, Ma. Dia udah keterlaluan.”
“Indira gak gitu orangnya.”
Wulandari terus membela Indira di hadapan anaknya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Wulandari sampai-sampai sangat baik kepada Indira? Padahal Indira ini sudah menyakiti hati anaknya.
“Terserahlah!” ketus Dirga. Kini dia lebih memilih untuk menatap layar ponsel ketimbang berdebat dengan mamanya.
“Pokoknya kamu harus baik sama Indira,” putus Wulandari.
“Udah, Tante gak usah berlebihan sama Dirga,” lirih Indira menengahi.
“Biarkan, sesekali dia harus dengerin omongan orangtuanya, Nak.”
“Mungkin memang salah Indira karena udah ganggu pacar Dirga, Tante. Tapi, Indira lakuin itu karena masih sayang sama Dirga. Indira menyesal dulu membuat keputusan yang salah, maaf.” Dengan wajah ditekuk bersedih, Indira minta maaf di hadapan Dirga.
“Kenapa gak dari dulu minta maaf?” timpal Dirga.
Indira terdiam membisu.
“Kamu jangan buat masalah lagi sama Indira maupun temannya. Mama gak suka kalau kamu bersikap keras terus kepada Indira. Coba sekali lagi buka hatimu, terima dia kembali di kehidupanmu, berteman juga gak apa-apa. Mama gak bisa lihat dia terus tersakiti,” terang Wulandari.
Dirga melihat ke arah mamanya. “Jadi Dirga disuruh dateng ke sini cuma buat memaafkan Indira dan jangan nyakitin dia lagi? Itu yang Mama mau?”
“Kamu dan Indira harus kembali berbaikan.”
Tatapan Dirga kini tertuju pada Indira. “Perasaan gak bisa dipaksain. Kalau lo mau gue kembali kayak dulu, mungkin itu gak akan pernah terjadi. Gak usah capek-capek buat nahan rasa sakit karena gue gak peduli lagi. Lo akan terus-terusan sakit kalau masih bertahan seperti sekarang ini.”
Hati Indira seketika hancur. Begitu mudahnya sifat Dirga berubah kepada Indira, selalu ketus. Indira menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Wulandari mendekati lalu merangkulnya.
“Kamu jangan nangis gini. Indira gak boleh nangis. Indira harus tetap kuat, jangan sampai kesehatan Indira menurun lagi.” Wulandari mencoba menenangkan Indira.
“Dirga gak peduli apa yang terjadi dengan Indira, Ma. Dirga gak mau berurusan lagi dengannya. Dirga udah kecewa sama dia,” sambung Dirga.
“Kamu gak harus buat Indira begini, Sayang.”
“Jangan paksain Dirga buat perhatian lagi sama Indira, Ma. Dirga tahu mana yang tulus dan mana yang nggak.”
Wulandari terdiam sesaat.
“Papa ke mana?”
“Papa belum pulang, katanya hari ini lembur.”
Dirga hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan mamanya. Dia berdiri lalu berjalan menuju mobil untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...