“Oh iya, sekarang, kan, lagi malam Minggu. Nah, gimana kalau kita ke tempat hiburan dulu malam ini? Sekalian bikin lo bahagia, Di. Bosan lihat muka lo kusut mulu. Enak kalau jadi jelek. Lah, ini malah sama aja, masih tetap ganteng juga,” ucap Udik sesaat kemudian melihat ke arah Dirga.
“Nggak ada tempat lain gitu, Dik?” tanya Rahman.
“Kali ini aja, Man. Kan, lo berdua lagi gak ada kesibukan, jadi malam ini gue mau ngajak kalian happy. Lanjut?” Udik meyakinkan kedua orang itu untuk menerima ajakannya.
“Ya udah, ayo,” putus Rahman kemudian.
“Gue ikut ajalah.” Dirga berdiri bersiap untuk pergi.
Mereka segera pergi menggunakan mobil Dirga. Sementara motor Udik ditinggalkan di indekos Rahman. Dirga menerima ajakan temannya itu bukan tidak lain karena ingin malam ini bahagia. Dia tidak mau semua masalah yang sedang dialami terus membuat pikirannya menjadi kacau.
Kini mobil yang dikendarai Dirga tepat berhenti di parkiran salah satu tempat hiburan malam yang ada di Jakarta ini. Mereka bertiga keluar dari mobil dan langsung menuju pintu masuk. Jujur, ini baru pertama kalinya Dirga pergi ke tempat hiburan malam. Cowok itu celingukan seperti orang bodoh.
Udik berjalan lebih dulu masuk ke tempat itu, diikuti Rahman dan Dirga yang berada di belakangnya. Mereka bertiga mencari tempat duduk yang nyaman. Di dalam tempat itu dipenuhi banyak anak-anak muda yang sedang berjoget bersama. Suara keras dari musik yang berbunyi membuat semuanya seakan happy malam ini.
Kedua mata Dirga menyapu semua area sekitarnya. Sekarang ini cowok itu benar-benar seperti orang bodoh yang kebingungan sedang berada di mana. Dirga terus berjalan mengikuti kedua temannya yang berjalan sedikit di depan. Tempat seperti inikah yang akan membuat Dirga happy?
Ketiga orang itu berhenti di salah satu meja. Mereka duduk bersama di sana. Udik berdiri meninggalkan kedua temannya sebentar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebotol minuman beralkohol besar di tangan kanan dan dua gelas kosong di tangan kiri. Dirga menatap heran temannya itu.
“Lo mau minum, Dik?” tanyanya.
“Iya, kenapa? Tempat seperti ini yang bikin kita happy, Di. Lo nggak akan terus kepikiran dengan semua masalah. Gue mau lo cobain minuman ini sedikit.” Udik membuka minuman itu lalu menunangnya ke dalam gelas. “Ini, lo coba minum dulu,” suruhnya menyodorkan minuman itu kepada Dirga.
“Nggak, Dik. Lo minum aja sendiri. Mungkin Rahman tuh yang mau.” Dirga menolak untuk mencoba minuman itu.
“Lo mau, Man?” tanya Udik beralih menyodorkan minumannya ke Rahman.
Rahman terdiam sesaat dengan raut wajah ragu.
“Cobain aja dulu, Man. Kita dateng ke sini mau happy, bukan cuma nonton gak jelas,” kata Udik yang justru semakin mendekatkan bibir gelas itu ke mulut Rahman. Tanpa penolakan, Rahman memberanikan diri untuk mencobanya. “Nah, gue salut sama lo, Man,” puji Udik.
“Gila, pahit!” ujar Rahman setelah mencoba merasakan minuman itu melewati lidahnya. “Ada pahit, ada manisnya juga, Dik. Lo sering ke sini?” tanya Rahman pada Udik yang dengan santainya meneguk minuman itu beberapa kali.
“Nggak sering, sih, tapi pernah,” jawab Udik.
“Jadi lo sering minum?” Dirga menimpali dengan pertanyaan.
“Pernah, nggak sering juga.”
“Gue nggak pernah tahu kalau lo pernah dateng ke tempat seperti ini.”
“Nggak usah dibahas, mending habisin minuman ini dulu. Setelah itu kita lanjut happy.” Udik terlihat sangat santai meneguk minuman itu beberapa kali. Dia dan Rahman bahkan terus menghabiskan sebotol minuman itu. Sementara Dirga hanya melihat kedua temannya, tak berani mencoba.
Sekarang sebotol minuman itu sudah habis tak tersisa oleh kedua temannya. Dirga juga melihat kedua temannya sudah mabuk. Udik dan Rahman diajak mengobrol pun kadang suka melantur.
“Rasanya manis, Dik?” tanya Dirga sesaat kemudian pada Udik yang sudah bersandar lemas di kursinya.
“Iya, rasanya manis, tapi gak semanis kehidupan percintaan, Di. Lo gak boleh terus berlanggaran dengan masa lalu, apalagi sampai menyakiti hati orang lain. Lo harus bisa ngertiin perasaan mereka, bagaimanapun caranya. Lo harus tahu kondisi lo sekarang ini gimana. Lo harus tahu juga kalau gue ini ganteng dan sayangnya masih jomlo,” balas Udik asal-asalan. Nada bicaranya lemas seperti orang malas ketika dibangunkan tidur.
Dirga terkekeh pelan. “Nggak perlu curhat juga kali, Dik.”
“Orang jelek malah ngaku ganteng, stres lo, Dik!” respons Rahman yang juga berbicara seperti Udik.
Udik berdiri lalu merangkul Rahman jalan menuju kerumunan orang-orang yang berada di depan disjoki. Mereka langsung ikut berjoget di tengah orang-orang. Sementara, musik terus saja berbunyi kencang membuat orang-orang yang berada di tempat itu happy sepanjang malam.
Berjam-jam sudah berlalu sejak kedatangan mereka ke tempat ini. Dirga masih duduk di kursinya mengawasi Rahman dan Udik di depan. Sekarang sudah jam dua pagi, tetapi mereka belum juga berniat pergi. Satu jam kemudian, Rahman dan Udik berjalan terhuyung mendekati Dirga.
“Ngantuk, pulang kita?” tanya Dirga setelah kedua temannya berdiri di dekatnya.
“Ayolah,” jawab Rahman yang berjalan lebih dulu meninggalkan kedua temannya menuju parkiran. Dirga dan Udik pun mengikuti.
Dari parkiran, mereka bertiga segera pulang. Malam ini Dirga hanya menemani kedua temannya bersenang-senang di tempat hiburan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Dla nastolatków"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...