Kini Rafika sedang sibuk di kamarnya bersiap untuk pergi bersama Dirga. Sepuluh menit sebelumnya Dirga memang sempat menelepon Indira, mengajak cewek itu untuk jalan malam ini. Ajakan itu disetujui tanpa berlama-lama berpikir.
Rafika harus memilih pakaian yang pas untuk jalan sama Dirga malam ini. Pokoknya dia harus tampil menarik di hadapan Dirga. Bolak-balik bergaya di depan cermin mencari pakaian yang cocok membuat dirinya seakan menjadi foto model terkenal sesaat.
“Eh, anak Bunda mau ke mana malam ini?” tanya Lisa saat melihat Rafika sudah sangat cantik dengan penampilannya. Rafika sudah berada di ruang tamu duduk di dekat bundanya.
“Dirga ngajak jalan, Bun.”
“Ehem! Tumben ada yang ngajak jalan, biasanya juga setiap malam di rumah terus. Ada apa nih anak bunda sama si Dirga? Kayaknya ada sesuatu yang mencurigakan.”
“Dirga ngajak Rafika jalan, Bun. Kan, gak enak kalau ditolak, entar dia marah lagi.”
“Oh ... jadi gak mau buat Dirga marah.”
“Bunda kayak gak pernah muda aja, ih. Lagian, Rafika nggak ada apa-apa kok sama Dirga. Kami cuma berteman, Bun. Masa Rafika gak boleh berteman sama Dirga?”
Dari luar terdengar seseorang mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah. Pikiran Lisa langsung tertuju pada teman anaknya. Lisa menyuruh anaknya untuk segera membukakan pintu.
“Assalamualaikum. Hai, Ra,” sapa Dirga setelah pintunya dibuka.
“Waalaikumsalam. Masya Allah ....”
Waktu seakan berhenti sejenak, Rafika menatap penampilan Dirga malam ini yang sangat keren. Dirga terlihat ganteng malam ini, gayanya yang nakal tertutup dengan penampilan rapi sekarang. Rafika menatap dari ujung kaki sampai kepala, semuanya diperhatikan dengan teliti. Betapa beruntungnya dia bisa jalan dengan Dirga malam ini.
“Rafika Zahra ...!” seru Dirga sembari melambaikan tangan di hadapannya.
Sesaat Rafika tersadar kembali. “Eh, iya, Di. Mau masuk dulu atau langsung jalan?”
“Izin dulu sama bunda.” Dirga menggenggam tangan Rafika menuju ruang tamu.
“Di, tangannya lepasin,” pinta Rafika dengan suara pelan.
“Kalian langsung mau jalan?” tanya Lisa setelah Dirga mendekat. “Tapi, tunggu dulu ... itu maksudnya apa?” Lisa menunjuk tangan mereka yang masih saling menggenggam.
“Maaf, Bunda.” Dirga tersenyum tak jelas setelah melepaskan genggaman tangannya.
“Lupakan. Bunda tahu kok. Kalau mau jalan sekarang silakan, diizinin, tapi jangan macam-macam.”
“Makasih, Bunda. Dirga pastikan Rafika akan aman.”
“Ada lagi, jangan buat dia nangis, buat dia terus tersenyum bahagia. Kalau sekali bikin anak Bunda na―”
“Nangis, Bunda akan lapor ke polisi. Ayahnya banyak kenalan polisi,” potong Rafika begitu saja. Rafika jelas sudah tahu perkataan itu karena dulu saat dia masih berpacaran di Bandung, Lisa sering mengingatkan kepada pacar anaknya setiap kali mereka ingin pergi.
Dirga terkekeh pelan, lalu tersenyum sebentar mengarah ke Rafika.
“Tuh, udah dijelasin sama Rafika. Kamu ngerti, kan?” tanya Lisa kembali.
“Iya, Bunda. Dirga udah ngerti. Kalau begitu kami mau pergi sekarang. Assalamualaikum, Bunda.” Dirga mencium punggung tangan Lisa. Rafika juga melakukan hal yang sama. Mereka berjalan menuju mobil Dirga.
“Mau ke mana?” tanya Rafika setelah berada di dalam mobil.
“Ke mana aja asal kamu bahagia.”
“Ehem! Ehem! Armada ke mana Armada, lagi ingin dengerin lagunya, nih.”
“Armada gak ada. Adanya gue.” Dirga menatap wajah Rafika sebentar lalu melajukan mobilnya.
Malam ini akan menjadi malam yang sangat membahagiakan bagi Rafika, sebab selama putus dari pacarnya dulu dia tidak pernah lagi diajak jalan oleh cowok mana pun. Malam ini menjadi kesempatan dia untuk merasakan nikmatnya jalan bersama seseorang yang bisa membuat suasana nyaman, berada di dekat Dirga menjadi keputusan yang terbaik bagi Rafika.
Jakarta akan menjadi saksi bagaimana kebahagiaan Rafika malam ini. Jakarta akan menyaksikan bagaimana kedua remaja ini berbagi kenyamanan. Kebahagiaan jelas terpancar dari raut wajah Rafika yang sedari tadi sering melirik Dirga diam-diam.
“Lo ngapain lihatin gue gitu?” tanya Dirga menoleh ke arah Rafika sebentar.
“Nggak, kok.” Rafika langsung melengos mengalihkan pandangan ke layar ponsel. Meski ponsel itu cuma sekadar buat mengalihkan perhatian, tetapi tetap saja suasananya masih canggung.
“Kok lo jadi salah tingkah gini, sih?”
“Biasa aja, kok.” Rafika meletakkan kembali ponselnya ke tas kecil di pangkuannya.
Mata Dirga terarah sebentar ke tas Rafika. “Ada apaan tuh di tas lo?” Sesekali Dirga melihat ke arah Rafika sembari menyetir.
“Gak ada apa-apa.” Rafika membuka tasnya lebar untuk melihat sesuatu yang dimaksud Dirga. Di dalam tasnya hanya ada ponsel dan dompet kecil. Dirinya seakan dibohongi oleh Dirga.
Dirga memasukkan tangan kirinya ke tas Rafika. “Ini ada,” katanya. Dia menarik kembali tangannya dan Rafika langsung tersenyum saat mendapati ibu jari dan telunjuk Dirga berbentuk love ala orang Korea gitu.
“Lo bisa aja, Di.” Senyum Rafika pun terukir tak dapat disembunyikan.
“Udah jangan senyum-senyum gitu.”
“Kenapa?” Rafika mengernyitkan dahinya menatap Dirga.
“Takutnya gue jadi suka sama lo.” Dirga mencubit pelan pipi Rafika.
Kembali senyuman manis tersimpul di wajah Rafika. Perasaan kali ini memang membingungkan. Mereka ini berteman dekat, tetapi rasanya seperti orang pacaran. Belum lagi sampai di tempat tujuan Rafika sudah dibuat nyaman oleh tingkah laku Dirga yang romantis.
Mereka berdua berhenti di salah satu kafe yang terletak di pinggir jalan. Setelah memarkirkan mobilnya, Dirga turun diikuti juga oleh Rafika. Deg... seketika jantung Rafika kembali berdegup tidak stabil lantaran Dirga menggenggam tangannya dengan erat. Mereka berdua masuk ke kafe itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Fiksi Remaja"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...