Part 10

288 51 25
                                    

Dirga tak menggubris pertanyaan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dirga tak menggubris pertanyaan itu. Dia malah menggapai tisu yang berada di atas meja lalu mengelap mulut Rafika. Padahal jelas mulut Rafika tidak sedang kotor. Hal ini disengaja Dirga agar membuat Indira illfeel padanya.

"Kalau gak suka, ya, tinggal pergi aja. Gue juga nggak maksa lo buat tetap di sini. Sana pergi, daripada lo sakit hati lihat gue sama Rafika," cibir Dirga yang ditujukan untuk Indira.

Raut wajah Indira semakin kesal dengan ucapan Dirga barusan. "Lo emang nggak punya perasaan, Di," katanya seolah tertindas.

"Lo yang lebih gak punya perasaan. Gak sadar apa udah khianati gue? Gue rasa lo nggak pernah amnesia, kan? Apa jangan-jangan lo sengaja pura-pura lupa biar gue merasa kehilangan, gitu? Gak akan terjadi!" Dirga kembali menyuapi Rafika dengan romantisnya. Mereka berdua seperti orang yang sedang kasmaran.

"Lo itu―eeekhh ...!" Indira bergegas berlalu meninggalkan mereka begitu saja.

Setelah kepergian Indira, Dirga kembali bersikap seperti biasa pada Rafika. Dia tak mau lagi menyuapi cewek itu. Teman-temannya menatap Dirga heran. Sikap Dirga kali ini berubah drastis berlawanan dengan sikapnya ketika ada Indira.

"Udah dewasa, kan? Jadi bisa makan sendiri. Habisin aja baksonya, biar gue yang bayarin," ujar Dirga menaruh mangkuk baksonya di hadapan Rafika.

Kedua mata Rafika melirik ke arah Dirga perlahan. "Lo kok jadi berubah gini, Di?" tanyanya heran.

"Iya, Di. Tadi juga ada Indira lo perhatian sama Rafika. Kenapa sekarang malah nggak?" Ayu menimpali dengan pertanyaan untuk Dirga. Rahman dan Udik sedari tadi diam tak mau ikut campur dengan sikap Dirga seketika perhatian sama Rafika. Mereka sudah tahu alasannya.

"Lo pasti tahu kenapa gue bersikap begitu sama Rafika, Yu," balas Dirga.

Ayu menggeleng tak percaya. "Lain kali jangan bikin anak orang senang sesaat, Di."

"Biarin aja, Yu. Lagian sekarang Indira udah pergi, jadi gue mau masuk ke kelas duluan." Dirga berdiri lalu melirik kedua temannya. "Kalian berdua belum mau ke kelas? Kalau belum, ya, gue mau duluan," katanya lalu mendekati Bu Eem untuk membayar pesanan tadi. Setelah itu, Dirga berjalan pergi menuju kelas duluan.

"Gue juga mau ke kelas, Di." Udik beranjak lalu membayar pesanannya, kemudian bergegas menyusul Dirga. Rahman juga menyusul kedua temannya itu.

Tak lama setelah mereka berada di kelas, bel masuk pelajaran selanjutnya berbunyi. Satu per satu siswa masuk ke kelas. Ayu pun masuk ke kelas beriringan dengan Rafika. Mereka langsung duduk di kursi masing-masing.

"Eh, Dik, sekarang masuk pelajaran apa?" tanya Dirga kepada Udik.

"Olahraga, Di," jawab Udik seraya mengeluarkan seragam olahraganya dari tas.

Spontan Dirga langsung menepuk dahinya. "Astaga! Gue lupa bawa baju olahraga."

Rahman yang mendengar hal itu berbalik badan melihat ke arah Dirga. "Lo bisa dapat masalah kalau ketahuan," ujarnya.

"Iya, Man." Dirga sedikit mendongak seraya berpikir. "Ah, pusing gue kalau gini, Man," geramnya.

"Terus lo mau ngapain?" Udik merespons dengan pertanyaan.

"Bingung gue."

"Buruan cari cara biar nggak dapat masalah, Di. Sebelum guru masuk."

Dirga mencengkeram rambutnya kesal. Sesaat kemudian, dia mengangkat kepala kembali melirik Rahman. "Man, lo bawa mobil gue pulang, ya. Kali ini gue butuh bantuan lo. Ingat, kalau Ayu nanyain gue ke mana, jawab aja lagi di toilet. Lo cari alasan yang masuk akal, deh. Jangan beritahu guru juga kalau gue pulang."

Rahman terbelalak mendengar perkataan Dirga barusan. "Lo serius mau minggat?" tanyanya memastikan.

Dirga mengangguk. "Serius, Man."

"Lo bisa dapat masalah yang lebih besar, Di―"

"Assalamualaikum!" sapa guru yang baru saja masuk ke kelas mereka.

"Waalaikumsalam, Pak!" Semua kompak menjawab salam dari guru itu.

Dia adalah Pak Alvin, guru Olahraga yang mengajar di semua kelas sebelas, termasuk kelas IPS ini. Pak Alvin masuk sebentar untuk memberitahukan pada semua murid agar segera mengganti seragam dan langsung berkumpul di lapangan. Setelah itu, dia keluar lebih dulu menunggu semua murid di lapangan.

Semua murid keluar menuju ruang ganti baju. Hanya tersisa Dirga, Rahman dan Udik di kelas sekarang. Ini kesempatan yang bagus buat Dirga kalau memang mau pulang lebih dulu. Tanpa berlama-lama, Dirga segera menarik lengan Rahman mengikutinya menuju belakang kelas―tempat biasa yang sering dilalui semua siswa ketika mau minggat.

Dirga mencari balok kayu besar yang biasanya dipakai para murid untuk memanjat pagar. Setelah ketemu, dia langsung menyandarkan balok kayu yang terlihat sudah dipasang beberapa kayu kecil―sebagai pijakan―itu ke dinding. Tugas Rahman dan Udik hanyalah mengawasi takut ada guru yang melihat Dirga naik.

"Aman, Di," kata Udik memastikan kondisi di sekitar sudah aman.

"Buruan naik," suruh Rahman.

Tanpa membalas perkataan kedua temannya, Dirga langsung naik dan melompati pagar. Berhasil. Cowok itu berhasil keluar tanpa ketahuan oleh guru ataupun murid lain. Tak berselang lama, ada satu angkot yang hendak melaluinya. Dirga menghentikan angkot itu, naik, lalu segera pulang.

Diandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang