“Apa yang kalian lakukan tadi sangat keterlaluan!” bentak Pak Burhan di hadapan Dirga dan Andre.
Keduanya langsung dibawa ke kantor menghadap kepala sekolah lantaran guru BK tak mau lagi mengurusi masalah Dirga. Pak Burhan, kepala sekolah SMA Cakrawala sedang menghadapi Andre dan Dirga. Keduanya tertunduk diam.
Dirga melepaskan dasi yang sedari tadi masih membalut jari-jari tangan kanannya. Dengan cepat Pak Burhan merampas dasi itu dari tangan Dirga. Pak Burhan menatap tajam Dirga yang juga melihat ke arahnya.
“Ada masalah?” tanya Pak Burhan.
Tanpa menjawab, Dirga kembali menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan kepala sekolah. Dalam hati, sebenarnya Dirga berani mengambil kembali dasinya itu, tetapi karena yang sedang dihadapi ini adalah Pak Burhan, jadi dia menahan niatnya. Kalau saja guru BK, mungkin dia sudah merampas kembali dasinya.
“Jelaskan kepada bapak kenapa kalian berdua sampai berkelahi!” Pak Burhan kembali bersuara meminta penjelasan dari mereka atas perkelahian itu.
Dirga memberanikan diri melihat ke arah Pak Burhan. “Di depan mata saya dia menarik paksa siswi kelas sepuluh agar mau duduk di dekatnya, Pak. Orang ini memang pantas dihajar. Siswi kelas sepuluh itu sampai harus menahan malu di hadapan banyak orang lantaran ulahnya yang keterlaluan,” jelasnya sambil menunjuk wajah Andre kesal.
“Lo gak usah ikut cam―”
Perkataan Andre terhenti karena Pak Burhan melemparnya dengan pena. “Kalau lagi di hadapan bapak bicara yang sopan!” hardiknya.
Keduanya kembali tertunduk diam.
“Dirga, coba jelaskan lagi,” suruh Pak Burhan kemudian.
“Dia kurang ajar, Pak. Siswi itu menangis karena terpaksa terduduk di pangkuannya. Saya gak peduli mau dia anak jendral, pejabat, guru, atau siapa pun, yang pasti kalau berbuat kurang sopan harus dihajar.” Dirga kembali menjelaskan, meski sedikit tertunduk.
“Niatmu untuk membantu siswi kelas sepuluh itu bagus, tapi caranya yang salah. Kamu nggak usah berpikiran langsung main hajar saja. Ini masih di sekolah, bukan di luar sekolah atau tempat tongkrongan. Kamu bisa bawa dia ke sini, ke hadapan bapak! Jelaskan semuanya.”
“Dia yang salah, Pak.” Andre mencoba membela diri.
“Kalian berdua sama-sama salah!” tanggap Pak Burhan cepat. “Mengganggu siswi kelas sepuluh salah, berkelahi juga salah. Apa bedanya kalian berdua? Kalian sama-sama nakal di sekolah ini. Bapak tahu catatan perilaku Dirga bagaimana di sekolah ini, begitu juga dengan Andre.”
“Berapa kali surat panggilan sudah kalian dapatkan?!” Tak ada yang berani menjawab, mereka masih diam. “Sudah sering! Kalian berdua sudah sering mendapatkan surat panggilan dari guru BK. Kalian dibawa ke hadapan bapak karena guru BK sudah tidak sanggup lagi, terlebih lagi masalah kamu, Dirga.” Pak Burhan naik pitam.
“Saya minta maaf, Pak. Saya salah karena berkelahi dengannya,” lirih Dirga.
“Kalau kalian berdua bisa saling memaafkan dan berjanji tidak akan mengulangi kejadian seperti ini lagi, bapak akan ringankan hukumannya.”
Mendengar hal itu Dirga langsung mengulurkan tangannya kepada Andre. Dia tak mau masalah ini menjadi panjang, bahkan membuatnya kembali mendapatkan surat panggilan. Lelah. Dirga lelah harus memohon kepada kedua orangtuanya agar mau datang ke sekolah.
Andre menyambut uluran tangan Dirga. Mereka berdua saling memaafkan, meski dengan sorot mata penuh kebencian.
“Kalau sudah saling memaafkan, silakan kalian berdua berdiri dan hormat kepada bendera,” ujar Pak Burhan lega melihat kedua siswa itu bisa saling memaafkan.
“Sampai kapan hukumannya, Pak?” Dirga memberikan pertanyaan.
“Nanti bapak beritahu kalau sudah selesai.”
“Iya, Pak.” Dirga segera menuju lapangan upacara yang berada di tengah bangunan sekolah. Begitu juga dengan Andre. Mereka menjalankan hukuman yang diberikan.
Berjam-jam sudah berlalu mereka menjalani hukuman ini. Namun, hukuman keduanya belum juga selesai. Tak ada tanda-tanda Pak Burhan mendekat atau menyuruh salah satu guru untuk menyudahi hukuman mereka. Sementara terik panas matahari sudah membakar kulit sejak tadi.
“Dirga! Andre! Silakan kembali ke kelas masing-masing!” teriak Pak Burhan dari pinggir lapangan menyuruh kedua siswa itu menyudahi hukuman mereka.
Tak ada yang menjawab, keduanya berlalu begitu saja. Andre segera menuju kelasnya, meski sekarang pelajaran jam terakhir sudah dimulai. Sementara itu, Dirga lebih memilih menghabiskan sisa waktu di kantin.
Wajah Dirga ditekuk sendu lantaran kembali terpikir akan masalahnya. Seandainya, ada satu ruangan kosong di dunia ini yang terkhusus meluapkan emosi dan kesedihan, mungkin Dirga akan masuk tanpa harus keluar lagi dari ruangan itu. Dia akan meluapkan semua yang ditahannya selama ini atau menangis sejadi-jadinya tanpa henti. Mungkin juga Dirga akan selamanya berada di dalam ruangan itu tanpa mengajak siapa pun. Masalah pribadi yang dialami saat ini sangat membuatnya terpuruk.
“Sialan! Gini aja terus setiap hari. Aaaaakkh ...!” hardiknya kesal seraya mengacak-acak rambut.
Tiba-tiba saja bel pulang sekolah berbunyi. “Nah, gitu kek dari tadi.” Dirga beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...