Pak Burhan menatap Dirga seakan kecewa. “Kamu itu sebenarnya pintar, berprestasi dalam olahraga. Dulu bapak sangat bangga sama kamu karena sudah pernah membanggakan sekolah dalam olahraga basket.”
“Dirga masih ingin bersekolah di SMA ini, Pak,” lirih Dirga dengan kedua mata mulai berkaca-kaca.
Helaan napas Pak Burhan terdengar pelan. “Sebenarnya bapak ingin kamu kembali berprestasi seperti dulu, tapi ya ... sulit. Berat memang untuk mengambil keputusan ini.” Pak Burhan tak tega dengan keputusan yang sudah ada di pikirannya.
Bu Resti melirik ke arah Dirga sebentar, lalu berkata, “Beberapa guru juga sudah memberikan laporan kalau Dirga sering malas dalam belajar.”
“Kamu cerna baik-baik apa yang dikatakan oleh Bu Resti,” suruh Pak Burhan.
“Apa pun hukumannya akan saya terima, Pak. Asal jangan dikeluarkan dari sekolah ini. Saya mohon, Pak.” Dirga kali ini benar-benar mengemis di hadapan Pak Burhan dan Bu Resti. Sesaat kemudian air matanya benar-benar keluar tanpa sanggup ditahan lagi. Dirga menangis menyesali perbuatannya.
“Begini, Nak ... kalau kamu memang benar masih mau bersekolah di SMA ini, tolong ubah sikapmu mulai sekarang. Kalau ternyata tidak ada perubahan sama sekali, ya, terpaksa pihak sekolah akan memberikan tindakan keras berupa pengeluaran dari sekolah ini.” Pak Burhan mengambil amplop dari laci meja yang sudah disiapkan sebelumnya. “Silakan kamu terima ini. Suruh salah satu orangtuamu datang ke sekolah.” Pak Burhan memberikan amplop itu pada Dirga.
Dengan terpaksa Dirga harus menerima surat panggilan yang kesekian kalinya. Sebenarnya Dirga bisa dikatakan beruntung karena belum dikeluarkan. Padahal sudah jelas beberapa masalah sering diperbuatnya, seperti; berkelahi, minggat, bolos, tidak mengerjakan tugas, dan masih ada masalah-masalah lainnya.
“Iya, Pak. Surat ini akan saya berikan kepada orangtua.” Dirga menyeka air matanya setelah menerima amplop itu. “Kalau begitu saya pamit mau kembali ke kelas, Pak, Bu.” Dirga berdiri lalu mencium punggung tangan Pak Burhan dan Bu Resti, kemudian berjalan pergi.
“Tunggu dulu,” kata Pak Burhan menghentikan langkah Dirga yang sudah di ambang pintu. Siswa itu berbalik badan kembali mengarah kepala sekolah. “Masukkan bajumu dengan rapi, jangan berpenampilan seperti berandalan.” Perkataan itu langsung dituruti oleh Dirga.
“Sudah, Pak,” kata Dirga setelah selesai merapikan penampilannya.
“Silakan kembali ke kelas kalau sudah.”
“Assalamualaikum, Pak, Bu.”
“Waalaikumsalam,” jawab Bu Resti tersenyum.
“Waalaikumsalam.” Pak Burhan juga menjawab salam dari muridnya itu. Setelahnya, Dirga berlalu pergi.
***
Di sekolah tadi Dirga sudah memberitahukan kepada teman-temannya kalau dia mendapatkan surat panggilan dan hampir dikeluarkan dari sekolah. Respons dari Ayu di luar pikiran Dirga. Ayu justru yang paling berani memarahi temannya itu selama di kantin tadi. Rafika justru menjadi penengahnya, menenangkan Ayu yang terus marah.
Setelah tadi selesai mengantar Ayu dan Rafika pulang ke rumah mereka, sekarang Dirga dalam perjalanan menuju rumahnya. Di sekolah tadi Dirga dibuat ketakutan setengah mati, bahkan sampai menangis harus memohon di hadapan kepala sekolah dan wali kelas agar tak dikeluarkan. Namun, saat ini dirinya sudah bisa tenang. Lega rasanya masih diberikan kesempatan bersekolah di SMA Cakrawala.
Sesampai di rumah, Dirga hanya berhenti di depan pintu gerbang lalu turun dari mobil dengan membawa amplop surat panggilan untuk orangtua. Dirga menekan bel rumahnya seraya mengucapkan salam, sementara Rahman hanya menunggu di dalam mobil.
Tak lama kemudian pintu dibuka. Bi Siti berdiri dengan raut wajah khawatir di hadapan Dirga.
“Assalamualaikum, Bi,” sapa Dirga sopan seraya mencium punggung tangan Bi Siti.
“Waalaikumsalam, Nak. Kamu ke mana saja? Orangtuamu terus nyariin,” kata Bi Siti.
“Ah, paling cuma mama doang yang nyariin Dirga.”
“Ya, kan, seenggaknya kamu beritahu mereka tinggal di mana sekarang.”
“Dirga tinggal di tempat Rahman, Bi. Jangan beritahu mama sama papa.”
“Orangtua kamu terus nanyain. Bibi jadi takut mau jawab apa.”
“Bibi nggak usah takut, jawab aja gak tahu.”
“Iya.” Bi Siti tertunduk sendu.
“Kenapa, Bi?” tanya Dirga kemudian.
“Selama kepergian kamu, rumah ini terus dikelilingi keributan. Kedua orangtuamu terus cekcok karena kepergianmu. Ditambah lagi kesibukan mereka di kantor yang membuat semuanya jadi kacau. Mamamu atau papamu gak ada yang mau mengalah. Mereka mau menang sendiri.” Bi Siti menjelaskan panjang.
“Lain kali nggak usah didengerin, Bi, bikin pusing.” Dirga menyodorkan amplop yang dibawanya kepada Bi Siti. “Oh iya, Dirga titip ini kepada Bibi. Tolong berikan kepada mama atau papa, bilang kalau salah satu dari mereka harus hadir.”
“Surat panggilan?” tanya Bi Siti memastikan.
Dirga mengangguk. “Iya, seperti biasa, Bi.” Dia menyengir tak jelas di hadapan Bi Siti. Dirga tak menunjukkan raut wajah sedih.
“Kamu ini.” Bi Siti menerima amplop itu. “Nanti bibi akan berikan sama mereka. Sekarang kamu mau pergi lagi?” tanyanya kemudian.
“Iya, Bi. Oh iya, mama sama papa belum pulang, kan?”
“Belum. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, Bi. Jangan lupa berikan surat panggilan itu kepada mereka.”
Bi Siti mengangguk mengerti. Sesaat kemudian dia kembali berucap, “Bibi tahu apa yang kamu rasain saat ini. Bibi hanya bisa berdoa semoga ini semua ada jalan keluarnya. Bibi juga ingin melihat kamu kembali ada di rumah ini setiap hari. Cepat cari cara untuk menyelesaikan masalahmu.”
“Iya, Bi. Dirga akan segera kembali.” Dirga mengulas senyumnya. “Kalau begitu Dirga pamit pergi lagi. Kasihan Rahman sendirian di dalam mobil. Assalamualaikum, Bi.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Nak.”
“Iya, Bi.” Dirga kembali berjalan menuju mobilnya lalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...