Pikiran Dirga membuncah lantaran di sekolah tadi bukan orangtuanya yang datang memenuhi surat panggilan itu, melainkan Bi Siti. Sekarang Dirga sedang melajukan mobilnya cepat di sepanjang jalan. Sebelumnya Dirga sudah memberitahu Rahman agar pulang diantar Udik karena memang temannya itu tidak membawa motor.
Berkali-kali klakson mobil dibunyikan lantaran ingin menyuruh pengendara di depan membuka jalan untuknya. Dirga melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Seketika dirinya langsung menginjak rem. Beruntung tak menabrak kendaraan di depan.
“Sialan!” hardiknya karena terjebak lampu merah.
Detik demi detik menunggu lampu hijau terasa begitu lama bagi Dirga. Emosinya semakin bertambah. Klakson mobil terus dibunyikan hingga mengganggu pengendara di sekitar. Kesabaran Dirga sudah berada di ujung kekecewaan.
Setelah lampu lalu lintas kembali hijau, Dirga segera melajukan mobilnya. Dengan terburu-buru laju mobil terus bertambah. Sesampainya di tempat tujuan, Dirga memarkirkan mobil lalu keluar.
Tujuan Dirga adalah ke kantor papanya. Langkah kakinya bergerak cepat menuju ruang kerja Bastian. Beberapa orang yang bekerja di sana sudah tahu kalau Dirga itu anak pemilik kantor ini. Makanya mereka tidak menghalangi Dirga yang tergesa-gesa.
“Aaaaaaakkh ...! Sialan!” teriak Dirga kesal setelah masuk ke ruang kerja papanya. Dirga langsung meluapkan emosi dengan mengacak semua benda yang ada di dekatnya. Bahkan Dirga dengan berani memecahkan vas bunga yang terletak di atas meja kerja papanya.
“Dirga, berhenti!” teriak Bastian mencoba menghentikan Dirga yang mengamuk.
“Lepas, Pa!” Dirga melepaskan diri dan melempar semua berkas yang ada di meja.
“Papa peringatkan kamu untuk berhenti sekarang juga!” Bastian menatap Dirga gusar.
Tetap saja perkataan itu tidak digubris oleh Dirga.
“Kurang ajar!” Bastian langsung menampar Dirga begitu saja karena emosi.
Aksi brutal Dirga terhenti seketika. Dirga mematung sambil menyentuh pipi kirinya yang ditampar. Dirinya seakan ingin menitikkan air mata saat ini juga. Perlakuan yang diterima barusan di luar perkiraannya.
“M–ma–maafkan papa, Nak,” sesal Bastian di hadapan Dirga.
“Kenapa minta maaf? Nggak perlu, Pa.” Dirga berucap dengan penuh rasa kecewa.
“Maaf ....” Bastian memohon maaf dengan penuh penyesalan.
“Oke, Dirga terima tamparan Papa ini. Tamparan ini akan selalu Dirga ingat, jadi jangan pernah menyesal dengan apa yang sudah Papa lakukan terhadap Dirga.”
“Papa khilaf, Nak. Papa minta maaf sama kamu.”
“Nggak perlu minta maaf, Papa gak salah. Justru Dirga yang salah.”
“Dirga ....” Bastian menyaksikan air mata jatuh dari kedua sudut mata anaknya itu. Dirga menangis di hadapan Bastian?
Sebenarnya, hal ini tidak perlu terjadi di antara mereka berdua. Akan tetapi, karena emosi yang terus memuncak menjadikan satu sama lain tidak bisa mengontrol diri mereka sendiri. Alhasil, kejadian ini menjadikan hubungan mereka semakin berjarak.
“Asal Papa tahu, Dirga ingin Papa atau mama yang hadir, bukan Bi Siti!” tegas Dirga dengan air mata yang sudah jatuh. “Dirga ingin itu, Pa. Dirga tahu kalau Papa dan mama sibuk di kantor masing-masing. Dirga tahu itu.”
“Papa mengaku salah, Nak. Maaf.” Bastian tak henti-hentinya terus meminta maaf.
“Apakah masih ada sedikit waktu untuk Dirga? Dirga ingin diperhatikan layaknya anak-anak lain, Pa. Dirga ingin orangtua yang hadir, bukan orang lain!”
Bastian menyesal. Hanya itu yang bisa dialami sekarang ini. Tamparan tadi meninggalkan bekas yang mendalam bagi anaknya.
“Dirga ingin Papa sama mama tahu kenapa Dirga sampai diberikan surat panggilan itu. Kenapa Dirga selalu membuat masalah di sekolah. Kenapa Dirga sering pergi dari rumah. Kenapa Dirga lebih nyaman berada di rumah bersama Bi Siti, daripada orangtua. Dirga ingin kalian tahu itu.” Dirga menyeka air mata sendiri di hadapan papanya.
“Papa minta maaf, Nak,” lirih Bastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra [Completed]
Teen Fiction"Jadi guru Bahasa Inggris, ya, Di?" celetuk Udik dari tempatnya, "Dirga mau ngajarin arti kata i love you pada Rafika tuh, Pak," lanjutnya. "Bukan, Dik," balas Dirga, "gue mau jadi guru Sejarah aja, biar bisa ngajarin Rafika gimana perjuangan mendap...