Six: Why?

15.5K 2.2K 92
                                    

Pagi telah tiba, tapi Bona tak kunjung memejamkan mata sejak tadi malam. Ia lebih memilih duduk di daun jendela sembari memandang laut daripada tidur. Hal itu membuat pelayan-pelayannya khawatir. Terutama Damares, yang kukuh tak mau tidur sebelum sang nona terlelap. Beda dengan Gelsy, penyihir itu tak kuat menahan kantuk hingga akhirnya tertidur.

Damares tentu tahu bahwa alasan Bona terjaga ialah memikirkan hari pergantian takhta yang tak lama lagi akan tiba. Hari di mana kakak Bona, Eduardo dan Casmira akan berlomba-lomba merebut takhta Clan Asten dengan menghabisi nyawa sang raja, Ladarius, ayah mereka.

Bona menghela napas pelan lalu memejamkan mata. Meski begitu, ia merasakan kehadiran Damares di sampingnya. Dugaan Damares benar, Bona memang tengah memikirkan hari pergantian takhta semua clan dunia alam bawah yang tak lama lagi akan tiba.

Saat hari itu tiba, Eduardo dan Casmira secara bergilir akan bertarung dengan Ladarius. Pertarungan itu sungguh tak adil bagi Bona. Sebab setiap anak-anak raja bisa duduk di kursi takhta setelah melangkahi mayat ayah mereka. Sedangkan, raja hanya bisa mempertahankan takhta mereka. Dalam artian, raja tak memiliki hak untuk melangkahi mayat anak-anaknya.

Hanya ada dua pilihan bagi sang raja di hari itu, bertahan atau dibunuh. Di hari itu pula, pikiran Bona akan dikuasai oleh kemungkinan, kematian Ladarius.

Sejauh ini, Bona dan Ladarius sadar bahwa mereka tak cukup akrab, tapi yang Bona tahu, ia cukup menyayangi ayahnya. Entah bagaimana perasaan Ladarius untuknya, Bona tak ingin tahu. Bona tidak mengerti bagaimana bentuk kasih sayang bagi para iblis.

"Bagaimana pandanganmu tentangku, Damares?" tanya Bona, membuka percakapan setelah sekian lama larut dalam keheningan.

"Anak bungsu Raja Ladarius yang cantik," jawab Damares.

"Apa kenyataan itu membuatku terlihat menyedihkan?"

Damares menggeleng, "Tentu saja tidak, nona. Kau terlihat mengagumkan," ia menjeda saat melihat tatapan kesal dari Bona. Rupanya Si nona tak percaya dengan perkataannya barusan. Lantas Damares melanjutkan, "bagiku."

Bona menghela napas berat, "Apa yang harus dikagumkan dariku? Bahkan aku sering menertawakan diriku sendiri di cermin."

"Kau gadis yang baik, nona. Kau hanya merasa kesepian. Kau perlu akrab dengan alam luar untuk mengetahui bahwa sebenarnya kau mengagumkan."

Bona menoleh pada Damares. Benar kata pria itu, ia kesepian, "Apa kau sudah akrab dengan alam luar hingga kau bisa begitu yakin bahwa aku mengagumkan?"

"Tak perlu ditanya, nona. Tentu saja aku sudah akrab dengan alam luar. Kami terlalu akrab hingga aku mencapai pada kegelapan dunia yang menyesatkanku pada akhirnya," ujar Damares dengan tersenyum miris.

"Jadi, apa yang kau rasakan saat itu?"

"Aku merasa seperti iblis, bahkan lebih dari itu."

Bona mengelus pundak Damares, "Lupakan kesedihanmu. Ayahku bisa membantu jika kau ingin."

"Lord telah menawarkan itu, nona, tapi aku menolak. Aku tidak mau melupakan jati diriku yang sebenarnya."

Bona tersenyum, "Tak apa-apa. Aku menghargai keputusanmu," katanya sembari menepuk pelan pundak Damares.

Bona berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sembari menyisir rambut, juga mencoba untuk menahan diri agar tidak menertawakan betapa menyedihkannya gadis bermanik biru laut di hadapannya itu.

Damares memerhatikan gerak-gerik sang nona, "Kenapa aku, nona? Kenapa kau memilihku?" tanyanya, memecah lamunan Bona.

Bona menatap Damares dari cermin, "Setelah lima puluh tahun lamanya jadi pelayanku, kau baru berani menanyakan itu?"

DiabolusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang