Arya tidak berhenti memikirkan kejadian kemarin dan hari ini. Kejadian dimana dia sudah berlaku kasar kepada Irin hingga membuat gadis itu menangis.
Ada rasa bersalah yang menyelinap di dalam hati Arya. Melihat Irin menangis kemarin membuat Arya ingin memeluk dan menghapus air mata gadisnya. Gadisnya? Entahlah Arya merasa jika Irin sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Tidak ingin memikirkannya lagi Arya kemudian mengambil buku bersampul hitam di atas meja belajarnya. Ia membaca dari halaman pertama kehalaman selanjutnya, setidaknya membaca buku membuatnya sedikit lebih tenang.
Tokk tokk tokk
Arya kemudian mengalihkan pandangannya dan segera membuka pintu.
"Selamat malam, papa tidak mengganggu 'kan?"
Arya tersenyum ramah kemudian membuka lebar pintu kamarnya membiarkan papanya masuk, "Gak kok, papa ada apa?"
"Lusa papa mau ke Italy, ada urusan disana. Kamu mau ikut? Sekali-kali kamu harus ikut supaya bisa meneruskan perusahaan papa"
Arya melebarkan pandangannya ketika mendengar kata 'Italy' dan papanya mengajak Arya kesana, kenapa tidak? Itu adalah negara impian Arya.
"Serius pa Arya bisa ikut? Tapi bagaimana dengan sekolahku?"
"Papa udah izin sama wali kelas kamu. Anak pintar bolehlah izin seminggu doang"
Arya menganggukkan kepala, otaknya kini melambung untuk menyusun jadwalnya di Italy, terutama mengunjungi Vatikan salah satu pusat katholik terbesar di dunia.
===
"Yah telat lagi" keluh Irin ketika melihat gerbang sekolahnya sudah tergembok, ia lalu mengalihkan tatapannya untuk melihat arloji 07.47 tentu saja gerbang sudah dikunci. Apalagi ada pak Sato yang sudah bersedia dengan gagang sapu di tangannya.
Irin lalu bersembunyi dibalik tembok besar ketika pak Sato berbalik badan untuk melihat gerbang. Irin terus berpikir bagaimana caranya supaya dia bisa masuk tanpa dihukum.
Tanpa berpikir lama Irin menjentikkan jarinya bertanda menemui ide. Irin lalu berlari pelan menuju tembok pojok sekolah dimana lokasi itu adalah parkiran motor khusus cowok, tempat itu juga tidak pernah dilalui guru kecuali ada razia kendaraan.
Dengan ragu Irin memanjat pagar besi yang cukup tinggi. Bukan takut karena ketinggian, tapi Irin takut nanti roknya sobek atau celana pendek dibalik roknya kelihatan.
"Bismillahi rohmanirrohim" Irin lalu kemudian melompat dan mendarat dengan sempurna di tanah.
"Ternyata bakat memanjat pohon mangga tetangga masih tertanam di dalam diri gue. Alhamdulillah"
Baru saja Irin merapihkan sedikit pakaiannya yang kotor karena memanjat kini ia mendengar suara berat yang memanggilnya, "Irin anaknya om Sultan"
Irin merasa tidak asing dengan panggilan itu, lalu kemudian ia mengangkat wajahnya dan melihat lelaki kemarin yang dia temui di dekat lapangan. "Nama bokap gue itu Roni, Sultan itu nama marga. Eh btw lo ngapain di sekolah gue?"
"Iyadeh anaknya om Roni, gue kesini mau ketemu sama lo"
"Eh?"
Sansan hanya menyengir kuda lalu menarik ujung ransel milik Irin, dengan pasrah Irin hanya mengikuti langkah Sansan hingga membawanya ke ruang wakasek saat ini.
"Ngapain ngajak gue kesini, kalau ketahuan gue telat 'kan bahayaaa" bisik Irin di samping bahu Sansan, niatnya ingin berbisik di telinga Sansan tapi apa daya Irin yang tingginya hanya seperempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him?
Teen Fiction"Ini tentang sebuah perbedaan, bukan salah siapa-siapa karena memang kita diciptakan tidak untuk bersama." Anairin Muzaika Sultan. --- Anairin Muzaika Sultan, orang berpengaruh di geng Vandals. Siapa yang berani melawan dia, yah siap-siap saja untuk...