4. Briefing

340 25 12
                                    

Area permainan masih sepi karena secara jam kerja departemen kami lebih awal 30 menit dibandingkan dengan departemen operasional. Memang ada beberapa orang karyawan operasional yang sudah datang tapi sekedar untuk terhindar dari keterlambatan saja karena nyatanya mereka belum melakukan kegiatan kerja. Ada juga beberapa orang dari departemen janitorial yang sedang bersih-bersih area kerja. Senyum dan sapaan ringan sesekali terdengar dari beberapa orang disekitarku.  Kesan yang kuterima adalah sebuah nuansa persahabatan dan kekeluargaan.

Sesampainya di area penjualan tiket semua rekan-rekanku melakukan apa yang bisa mereka kerjakan tanpa ada satupun yang memberi komando. Ada yang berusaha membuka rolling door, ada juga yang menata ulang jalur antrian tiket.

"Kita gak perlu ikutan beresin jalur antrian karena itu tugas para cowok, kalo kita yang mudah aja seperti hidupin tv LCD, hidupin PC, mengelap meja dan menyapu bagian dalam area counter, kalau bagian antrian itu dibersihkan oleh janitor", jelas Tya kemudian mengajak ku memasuki area gudang yang terletak di belakang salah satu meja counter.

Pintu gudang memang terlihat samar karena dilapisi oleh wallpapper yang hampir terlihat menyambung dengan bagian yang lain.

2 buah rak besi tersusun dengan rapih didalamnya. Gudang yang luasnya hanya sekitar 2x4 meter berisikan semua keperluan departemen ini. Mulai dari bukti transaksi manual, kertas untuk mencetak tiket, gelang pengaman yang digunakan oleh pengunjung, handy talky dan perlengkapan lain yang belum ku pahami semua fungsinya.

Tya tidak bosan menjelaskan semua yang ia tahu. aku mengikuti saja apa yang ia lakukan tanpa membantah. Namun semua penjelasan yang ia berikan membuat akalku terbuka dan menyadari bahwa penjual tiket sekalipun bukan hanya bertugas menjual tiket, terima uang dan selesai, tapi banyak proses yang mereka lakukan dan semua itu tak diketahui oleh pengunjung pada umumnya.

"Hari ini kamu boleh gak pegang kerjaan apapun, tapi besok kamu harus sudah ngerti apa yang harus dilakukan oleh seorang penjual tiket tanpa harus diperintah", ujar Tya.

"Akew gak akan pernah ngajarin hal-hal sepele kayak gini", celetuk seorang bertubuh gemuk bernama Hendra. "Nanti kalo sudah mulai diajari dia jangan takut untuk bertanya", lanjutnya.

"Kalau aku takut untuk bertanya?", tanyaku penuh khawatir jika orang yang bernama Akew itu adalah manusia yang tidak ramah, kejam atau tukang marah misalnya.

"Ya ndak usah nanya.. gitu aja kok repot", canda Hendra menggunakan logat jawa sambil tertawa.

"Ahh ilmu sesat lo ndut, pokoknya kalo kamu mau kerja disini harus nanya! titik dan gak pake tapi-tapian". Jawab Tya tegas yang berbanding terbalik dengan candaan hendra.
Ku lempar pandanganku pada aktifitas orang disekitar. Ku coba mengingat nama mereka satu persatu.

Sosok Hendra sangat mudah ku ingat selain memiliki bentuk tubuh yang lebih bulat dibandingkan yang lain, dia juga cenderung senang melontarkan humor sehingga membuat suasana lebih ramai. Selain itu ada Aldi dengan tubuh lebih tinggi bahkan menurutku dia lebih cocok menjadi model. Meski pendiam tapi dia lebih sering berusaha mencari perhatian.

Aji memiliki bakat menggombal dia juga memiliki wajah seperti keturunan cina dan terlanjur memiliki gelar sebagai playboy.

Koordinatorku bernama pak Yudi memiliki bentuk tubuh seperti Hendra tapi lebih langsing sedikit, gaya bicaranya tidak seperti seorang atasan, dia lebih senang menggunakan gaya bicara sebagai seorang sahabat tapi meski begitu tak ada yang mencoba merendahkannya.

Ada beberapa lagi pria maupun wanita tapi mereka sepertinya kurang bersahabat dengan para pendatang baru sehingga mereka tidak mau berurusan denganku. Hal inilah yang membuatku sedikit sulit untuk menghafal nama mereka. Kecuali Tya, Dia memiliki tubuh yang tinggi sebagai seorang wanita, gaya bicaranya kadang khas seperti anak jakarta pinggiran. Meski tegas tapi dia memiliki empati dan kecerdasan yang cukup baik, mungkin cocok jika menjadi model iklan atau mungkin menjadi pramugari.

"Ayo berkumpul di tunnel (lorong) pintu masuk untuk  brieffing", ajak Tya memecah keheningan yang kuciptakan sendiri.

Aku mengikuti arahannya sambil tetap memperhatikan lingkungan sekitar. Semua rekan kerja sudah berkumpul membentuk sebuah lingkaran dengan posisi tubuh berdiri namun tidak dalam sikap sempurna.

Seorang wanita dengan blazer berbeda sudah berdiri dengan sikap dan tampilan sempurna, dia adalah bu Astri,  manager di departemen ticketing.

"Pagi guys, pagi ini kita sudah kedatangan rekan kerja baru sudah pada kenal belum?", sapa bu Astri mengawali briefingnya. Kemudian diperkenalkannya aku kepada semua rekan kerja.

"Hikari nanti ikut jemput rombongan grup kan?", tanya seorang wanita yang aku lupa namanya.

Aku hanya diam saat mendengar pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa.

"No, karena kita akan mendekati high season dan para koordinator sedang membantu saya untuk penyusunan revisi budget, maka Hikari akan dimentori oleh Akew.. eh maksud saya Abi", jelasnya.

"Mana tuh Akew belum datang? Haduhhh padahal kemaren sudah saya kasih tau jangan terlambat datang malah sekarang telat lagi", tambahnya sambil terlihat sedikit gemas oleh orang yang bernama Akew itu.

"Sabar  bu,  semua ini hanyalah ujian", canda Hendra memecah kekakuan briefing.

"Tadi dia izin telat karena bersihin kemejanya yang terkena noda", jelas Yudi.

"Dan dosa", celetuk Hendra yang membuat semua peserta briefing tertawa.

"Hadeeuh mulai deh, Hikari kamu jangan terpedaya oleh tampang mereka yang selengean ini loh ya? Mereka memang seperti itu kalo lagi briefing dan diluar jam kerja tapi kalo mereka sudah masuk jam kerja maka kamu jangan kanget kalo mereka jadi orang yang sangat serius", jelas bu Astri. "Lanjut briefingnya... kemarin Abi sudah ngasih jadwal mentoring Hikari selama 1 minggu ke depan jadi posisinya di sekitar counter, kalo yang pernah diajarin oleh Abi pasti ngerti lah", jelas bu Astri lagi.

"Wah enak banget dong bu, kok saat saya dulu baru bergabung malah disuruh jemput rombongan grup mulu sih", ujar salah satu peserta briefing yang namanya tak sempat ku hafal.

"Enak mbah mu... lo emang gak bakal kena panas matahari karena jemput rombongan grup tapi hati lo bakalan panas ditemeni orang kayak Abi yang dingin kayak monster kutub dan juteknya gak terkalahkan itu", kata Tya sedikit mengejek.

"Hush kamu tuh nakut-nakutin anak baru aja", Yudi berusaha menengahi obrolan ini.

Desir rasa takut melingkupi diriku untuk sesaat manakala kubayangkan sosok Abi yang katanya sedingin monster kutub. Jika dibandingkan dengan pria yang kutemui di halte busway tadi pagi rasanya jauh panggang dari api.

Gedubraaakk

Suara benturan itu menghancurkan lamunanku.

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang