23. aishiteru

115 14 41
                                    

Abi pov

Aku tak membalas semua perlakuannya. Selain karena tangan kiriku sedang nyeri untuk digerakan juga karena aku memang ingin agar dia menjauh dariku.

Meski aku tak tahu latar belakang keluarganya secara mendalam. Tapi saat bertemu kedua orang tuanya, aku yakin bahwa anak ini bukan dari keluarga biasa.

Data mentah dari Yudi semalam membuatku bergerak mencari tahu keberadaan rumah Hika setelah mengantar Faiz dan ibunya.

Benar nyatanya bahwa ia menempati sebuah rumah dengan ukuran yang memang luar biasa besar jika dibandingkan dengan rumahku.

Mungkin 20 kali lipat dari rumahku yang hanya berukuran 3x8 meter.

Memikirkannya membuatku kehilangan fokus hingga akhirnya terjungkal dalam kubangan yang diciptakan dari derasnya hujan.

"Mumpung semua belum terlalu dalam. Selagi belum ada yang mengucapkan kata cinta. Akan lebih aman dan tak akan dianggap salah jika salah satunya pergi", batin Abi.

Pukulan-pukulan yang Hika lancarkan sama sekali tak menyakiti. Pukulannya terasa kosong atau mungkin memang ia terlalu lemah.

Sudah sering aku melihat Hika dalam kondisi wajah yang pucat.
Meski teman-temanku mengatakan bahwa memang warna kulitnya yang seperti itu, tapi sebagai pecinta film Jepang di youtube dan juga seringnya aku melayani pembeli tiket yang memiliki kewarganegaraan Jepang maka aku bisa memastikan bahwa itu memang kulit pucat bukan kulit orang Jepang.

Hika masih menangis. Dalam isaknya dia mengucapkan sebuah kalimat yang memaksaku untuk fokus mendengarnya meski aku tetap tak mau melihatnya.

"Wa.. tashi... wa... dai...su.. ki..desu (aku sangat suka kamu)". Ujarnya sambil menangis dan meletakkan kepalanya di dadaku.
Tanganku kini dalam genggamannya.

Aku yang masih merasa mimpi mendengar ucapannya itu, hanya bisa diam. Mungkin ini cuma hayalku saja setelah mengingat semua yang terjadi kemarin.

Tangisnya makin menjadi bahkan tetes airmatanya sampai menyentuh kulit dadaku.

" Hounto ni daisuki ( sungguh sangat suka)", katanya lagi dengan suara yang lebih pelan tapi terdengar jelas.

Satu kata yang membuatku sadar bahwa semua ini bukanlah mimpi. Ini adalah nyata. Sebuah kata yang membuat hatiku kalut.

Kenyataan masa laluku yang rasanya memang tak semanis teh setengah manis yang biasa aku minum itu kembali menguak. Air mata yang tak pernah kuinginkan itu pun mengalir dari sudut mataku.

Melihat keanehan dari percakapan kami yang memang tak dimengerti oleh Yudi membuatnya bergerak ke arahku.

"Kalian kenapa sih? kamu tuh ngomong apaan?", tanya Yudi sambil berusaha mengangkat tubuh Hikari yang menindih dadaku.

Usaha Yudi membuahkan hasil. Hikari mulai mengangkat sedikit kepalanya tapi bukan menjauh melainkan mengarahkan wajahnya sejajar dengan wajahku.

dipegangnya kedua pipiku membuat mata kami tak bisa menghindar dari saling tatap. Ada rasa sakit di matanya tapi juga senyum bahagia di sudut mata itu.

Dia terdiam sejenak, berusaha untuk menenangkan diri yang sejak tadi menangis. Jarak kami begitu dekat sehingga udara yang dihembuskan dari hidungnya dapat langsung menyentuh permukaan kulitku.

Hangat menjalari tubuh. Sebuah senyuman tercetak di wajahnya, senyum bahagia.

"aishiteru .. a-i-shi-te-ru (aku cinta, aku cinta kamu)", bisiknya jelas dan tanpa keraguan sedikitpun.

"kamu?", Yudi nyaris tak percaya dengan yang terjadi di depan matanya. Yudi memang tidak fasih berbahasa Jepang tapi bukan berarti bahwa dia tidak tau cara mengucapkan cinta dalam bahasa Jepang.

Hikari mulai menjauhkan wajahnya dari hadapanku, kini dia berdiri tegak, bahkan mulai mundur beberapa langkah kemudian membalikan tubuhnya hingga memunggungiku.
Bahunya terlihat bergetar. Dia sedang menangis.

Aku terdiam bahkan kehilangan kata-kata. Bayang kegagalan di masa lalu mulai menghantui. Kenangan yang kuhempaskan selama beberapa tahun, kini kembali tergambar jelas. Luka itu masih begitu terasa perih. Luka yang selama ini tak ingin aku gali dari pusaranya.

Yudi berusaha menenangkan Hikari, dia pun menjelaskan kondisi kesehatanku dan menceritakan asal-mula luka di tubuh ku.

Hikari membalikkan tubuhnya dan menatapku. Yudi menarik selimut yang menutupi tubuh atasku.
Luka lebam pada lengan dan juga kulit yang terkelupas di siku menjadi bukti yang selama seharian ini aku tutupi keberadaannya.

Aku tak bisa menahan usaha Yudi menelanjangiku karena aku masih sibuk dengan kenangan masa lalu itu.

Yudi kembali menurunkan selimut itu hingga tergeletak di bawah telapak kaki.

Luka yang menganga bahkan lebih dari yang berada di siku terlihat lebih mengerikan bagi Hika. Hal itu dapat ditebak dari reaksi Hika yang menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Kenapa kamu gak mau bilang ke aku kak?, aku itu sangat sayang kamu", katanya dan kembali menangis tapi tidak memukuliku. Hika masih berdiri di tempatnya tadi berdiri.

Kepalaku sakit bukan kepalang. Luka batin, luka hati, dan luka di tubuh menjadi sebuah kolaborasi yang sangat menyakitkan.
Aku seperti sedang berada di pusat lingkaran komedi putar. Semua yang kulihat tak lagi jelas. Dan semua menjadi gelap.

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang