Kelopak mata Hikari terbuka perlahan, pandangan yang semula samar kini menjadi semakin jelas. Tubuhnya masih tak bertenaga sehingga masih duduk bersandar.
"Maafkan aku.. sudah menyusahkan kalian", ujar Hikari pelan.
"Biasa aja kali... tapi tadi ada cowok yang khawatir banget loh, dia panik dan mukanya sampe pucat gitu mungkin dia takut kalo lo mati", ujar Tya setengah bercanda.
Hikari tau jika itu hanya sebuah candaan saja seperti saat kemarin di kafetaria. Meski begitu ada perasaan yang menggelitik hatinya namun tak dapat ia jelaskan.
"Huusss bacot lo itu loh", Abi mencoba untuk membuat pertahanan diri.
"Lah emang tampang lo bener kayak gitu, tanya aja Aldi kalo lo gak percaya", jelas Tya membuat Hikari malu.
"Honto? (sungguh?)", tanya Hikari pelan yang tak dijawab oleh siapapun.
"Sudah! jangan berisik! ganggu yang lain tau", Yudi mencoba melerai percakapan mereka.
"Lo sanggup lanjut gak? atau mau istirahat dulu di klinik? atau mau pulang?", lanjut Yudi yang bertanya pada sosok yang masih bersandar di kursi.
"genki desu (gak apa apa kok)", jawabnya pelan membuat kedua orang itu melemparkan pandangannya ke arah Abi.
"Ya udah lo urus deh Kew, kalo ada apa-apa, segera kabari gue!", perintah Yudi kemudian mengajak Tya kembali ke posisinya.
Suasana menjadi hening sesaat sepeninggal mereka. Abi pandangi wajah Hikari yang sedikit pucat.
"Lo kenapa? sudah sarapan?", tanya Abi tegas yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.
Bagi Hikari pertanyaan yang cukup singkat itu memiliki arti yang berbeda. Dia semakin yakin bahwa mentornya itu sesungguhnya tidak sekejam yang orang-orang kira. Belum selesai Hikari mencoba menganalisa keadaan tapi tangan Abi sudah mendarat diatas kening Hikari.
Kaget bercampur malu jelas terlihat wajah Hikari. Kulitnya yang berwarna putih cerah itu kini merona merah.
"Maaf", kata Abi saat tangannya bertahan cukup lama di kening itu sedang tangan Abi yang lain berada di keningnya sendiri.
"Dingin banget", ujar Abi setelah membandingkan kondisinya dengan gadis yang masih terdiam itu.
"Gue antar ke ruang kesehatan aja ya? Lo istirahat di sana dulu", saran Abi yang hanya ditanggapi dengan gelengan kepala.
Tak mungkin bagi Abi menyeret atau memanggul paksa tubuh gadis itu, meski Hikari memiliki tubuh yang relatif langsing tapi tetap saja ini masih di area kerja.
"minum ini.. biar perutnya hangat, siapa tau bisa bikin lo berkeringat", ujar Abi sambil menyodorkan sebuah botol plastik yang sejak tadi tersimpan di laci counternya.
"nanni kore? (ini apa?)", tanyanya ragu.
"Cuma teh hangat dan tidak beracun", jelas Abi lagi agar keraguannya menghilang.
Hikari masih terdiam.
Di otaknya kini berkecamuk berbagai pertanyaan yang tak bisa ia jawab dan dia sangat tak percaya bahwa orang yang dijuluki si jutek kini bisa sebegitu perhatian padanya."Lo gak perlu takut ketularan rabies karena botol itu masih baru dan belum pernah saya gunakan", Abi lagi-lagi mencoba membantah keraguan di mata Hikari.
Sebuah senyuman melengkung di bibir Hikari dan sesaat kemudian diteguknya teh itu perlahan. Rasa hangat memenuhi tubuhnya dan tak lama kemudian menciptakan butir butir air keringat di keningnya.
"Gimana? sudah lebih baik?", tanya Abi yang hanya dijawab dengan anggukan kepala. Bukan karena malu untuk berkata-kata tetapi karena rasa bahagia yang tiba-tiba bermunculan.
KAMU SEDANG MEMBACA
tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu)
Roman d'amour"Mantan itu bukan untuk dilupakan, karena melupakan adalah bagian dari proses mengingat yaitu mengingat untuk tidak mengingat". Cerita ditulis secara suka-sukanya saya dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.. Jangan dikejar-kejar jadwal up date-ny...