29. dalam sunyi di penghujung malam

115 14 23
                                    

Hika masih belum juga pulang meski waktu sudah berada dikisaran setengah sepuluh malam. Dia masih berkutat dengan ponselnya sementara Abi masih berbicara melalui sambungan telepon.

"Ya udah gak apa-apa.. tapi besok pagi lo datang? iya bantu beresin baju gue lah sekalian jemput.. oke kalau gitu.. wa'alaikumsalam", Abi menutup perbincangan dengan sang adik.

"Adikmu tidak bisa datang ya Kak? kalau gitu malam ini aku temani kamu ya? aku tidur di sofa, kebetulan aku bawa sweater", sebuah pertanyaan yang dijawab sendiri bahkan sepertinya memang tak perlu dijawab.

"Dipaksa pulang juga percuma, kamar ini sudah dibayar orang tuanya, suka-suka dia aja deh", batin Abi.

"besok gak kerja?", tanya Abi berharap gadis itu akan pulang.

Hika terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "nanti aku izin ke Bu Astri".

Betul dugaan Abi bahwa gadis ini memang tak punya niat untuk pulang. Abi menganggukan kepalanya mencoba menyenangkan hatinya agar bisa meluluhkan hati wanita itu. Bagi Abi lebih enak jika ia menyendiri di kamar dari pada bersama seorang gadis seperti Hika.

"Kalo masa trainingnya gak lulus kemudian dipecat?", lanjut Abi lagi.

Tanpa ragu Hika menjawab, "tidak masalah, yang penting aku sudah menemukanmu". Sebuah jawaban yang membuat Abi terdiam dan tak tau harus berkata apa lagi hingga ia pun terlelap
--------

Abi pov.

Suara isak tangis itu begitu nyata, sangat dekat, sangat jelas. Bagai sebuah mimpi. Tapi karena aku yakin ini bukan sekedar mimpi maka aku berusaha membuka mata. Meski harus aku lakukan dengan sekuat tenaga melawan kantuk yang teramat sangat. Mungkin juga karena efek yang kuminum sebelum tidur tadi.

Cahaya ruang ini begitu temaram karena hanya satu lampu yang dihidupkan, tapi sinarnya cukup menerangi ruangan disekitarnya. Jam digital pada dinding kamar membentuk angka 02:19 dini hari.

Setengah sadar ku dengar kembali suara tangis itu diiringi suara lembut dari seorang wanita.
Aku berharap masih berada di alam mimpi tapi kenapa yang kulihat tampak begitu nyata. Aku sentuh paha kanan lalu mencubitnya hingga menghasilkan rasa pedas yang sempurna sehingga membuatku yakin sepenuh jiwa dan raga bahwa ini memang bukan mimpi. 
Aku mencoba untuk duduk dengan perlahan. Pandanganku mencoba untuk memfokuskan ke asal suara. Siluet putih di samping sofa mengisyaratkan seseorang sedang duduk bersimpuh, meski tertutupi oleh kain rukuh tapi sangat bisa dibayangkan bahwa ia sedang mengangkat kedua tangan seperti orang yang sedang berdoa.

"Tuhan... sesungguhnya engkau adalah sang pemilik cinta, engkau lebih mengetahui rasa dari cinta ini, engkau juga lebih memahami arti bahagia yang sesungguhnya. Oleh karena itu aku meminta kepada-Mu agar Engkau mau memperpanjang bahagia ini. Aku hanya ingin bersamanya", kalimatnya terhenti oleh isak tangisnya yang menyayat.

"Izinkan aku untuk melewati bahagia bersamanya. Aku ingin kebahagiaan yang utuh, aku ingin dicintai olehnya, aku ingin memiliki keturunan darinya, izinkan kami menyatu wahai Tuhanku", tangisnya makin menjadi.

"Aku tahu... sesungguhnya Engkau sangat mencintai aku, aku bahagia saat kau dekap aku dalam belai kasih sayang-Mu. Tapi tidak bolehkah jika aku mengharap cinta dari dia? orang yang aku sayang itu?", bahunya bergetar membuat kalimatnya terhenti sesaat.

"Yaa Robbii, sesungguhnya engkaulah yang menumbuhkan rasa ini, engkau pula yang memelihara cinta ini, maka izinkan aku untuk menggenapkannya, izinkan kami menyatu", tiap kata yang Hika ucap disertai tangis tanpa meratap.

Sebisa mungkin aku rebahkan diri kembali. Sekali lagi kulakukan dengan perlahan agar tak menimbulkan suara sehingga tak mengganggu kekhusyuannya.

"Ya, Robbana... maafkan aku jika menduakan-Mu... aku sangat mencintai-Mu tapi aku tak bisa membohongi diri ini.. Aku juga cinta dia.. Tuhan... terima kasih sudah menjagaku hingga detik ini.. sesungguhnya bahagia ini juga karena-Mu... ampuni semua dosa yang kulakukan.. Kabulkanlah do'aku Ya Alloh.. Aamiin", Hika menutup doanya.

Terngiang tiap kata yang dia lantunkan. Sebuah permohonan yang dibalut dengan ketulusan serta kepasrahan. Airmata menjadi pelengkap dalam lantunan doa di sepertiga malam.

Apakah ini yang selalu ia lakukan di tengah sunyinya malam? Kini aku menyalahi diri ini yang begitu tega padanya. aku merasa telah menjadi orang yang kejam baginya.  Aku masih mencoba menahan air mata yang sedari tadi ingin berjalan mengarungi pipi setelah bosan menggenang di mata.

Disaat dia sedang sibuk melipat kain yang tadi dipakai, aku menggerakan tubuh untuk miring ke kanan, memunggunginya.

Sepi menyelimuti ruangan ini. Mungkin kini ia telah tidur kembali. Pandangan mataku terhalang oleh air yang menggenang.

Tak terdengar langkah kakinya tapi wajahnya kini telah berada di depan wajahku dan membuatku kaget.

"Daijoubu desu ka?(kamu baik-baik saja?)", tanyanya dengan wajah penuh khawatir.

"Tanganku nyeri lagi", kataku berbohong.

"Tadi sebelum tidur.. kamu belum minum obat ya?" , tanyanya penuh senyum dan kujawab dengan anggukan kepala untuk memperkuat bohongku itu.

Hika membantuku untuk duduk dan menyiapkan obat yang sejatinya sudah aku minum sebelum tidur tadi. Setelah selesai direbahkan diriku seperti semula.

"Oyasumi (selamat tidur)", katanya sebelum menuju sofa untuk melanjutkan tidurnya.

"Oyasumi Hikari chan", bisikku.
-------

Hari ini sudah 3 chapter.. sekalinya rajin malah terlalu rajin up nya.. klo lagi mager.. ya makin mager jarinya.

Tadi ngobrak -ngabrik nasyid jadulnya Lq voice yg berjudul seuntai doa.. tapi gak ada.. nge googling mau download dan upload di youtube tapi gak nemu juga tuh mp3 nya.

Akhirnya milih lagu "damba cinta-Mu" versi GSN tapi gak ada juga di Youtube.. terpaksa pilih versi aslinya aja.

Oyasuminasai

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang