17. pencuri hati

122 14 19
                                    

Abi pov

"Tolong jambret", teriakan itu dari arah pintu masuk pasar.

Terlihat seorang pria berbaju hijau sedang berlari menuju area parkir. Beberapa orang sedang mengejarnya termasuk aku.

Kuperkirakan usia pelaku masih belasan tahun, kemampuan berlarinya cukup cepat tapi aku sudah hafal dengan tempat lingkunganku tumbuh, sehingga aku lebih lincah saat bergerak tanpa perlu bertabrakan dengan benda apapun.

Tersangka mulai mencoba menyeberangi jalan, tapi sial baginya karena aku sudah lebih dulu mendorong tubuhnya hingga tubuh pria itu terjungkal kesamping dan dengan sigap orang-orang yang ikut mengejar bersamaku dapat meringkusnya. Sedangkan aku sedikit kesulitan mengontrol laju berlari hingga sebuah motor menyerempet lenganku, aku hampir terjatuh jika tidak segera ditarik oleh salah seorang satpam pasar.

"Makasih mang Jaya", kataku pada satpam yang masih menjadi tetangga.

"Hampir aja lo tertabrak", jawabnya kemudian berlari menuju kerumunan masa yang sedang mengeroyok pelaku kejahatan.

Aku menyusul mang Jaya, kami berusaha menenangkan masa. Usaha yang cukup sulit tapi terbantu dengan teriakan beberapa ibu-ibu yang menyuruh mereka untuk berhenti.

Remaja itupun dibawa oleh 2 orang satpam pasar menuju pos keamanan sambil di arak oleh beberapa pengunjung pasar yang mencari kesempatan untuk memukul kepala si pencuri menggunakan sandal.

"Kayaknya muka gue kena tinju nyasar nih, pedes banget", gumamku sambil menuju parkiran motor untuk sekedar mengintip kondisi wajah yang tak setampan artis sinetron melalui spion.

Belum juga sampai di area parkir namun Agus yang merupakan teman masa kecil yang kini menjadi petugas parkir pasar sudah menghampiriku.

"Bim, lo diminta ke ruang pos keamanan, karena korban pengen ketemu sama lo", katanya.
"Hadeuhhh jadi panjang deh urusannya", keluhku.
"tenang sob, siapa tau dapet duit kan lumayan buat ngobatin muka lo yang bonyok", candanya sambil tertawa.

"Eh beneran bonyok ya?" tanyaku sambil menyentuh pelipis yang terasa perih.

Kami berjalan beriringan secara perlahan menuju ruang pos keamanan.

"Wedusss.. badan gue jadi ngilu gini", umpatku.

"Ya lo sih pake ikut misahin, jadi kena sasaran salah pukul deh", candanya masih terus tertawa.

"Permisiiiiii, numpang lewat oiii.. Kopi panas.. Kopi panas..", teriakan Agus membuat orang yang sedang berkerumun di sekitar pos menjadi sedikit menyingkir.

Ruangan yang kecil ini terasa begitu panas karena terisi beberapa orang dewasa, apalagi di luar masih terjadi kerumunan hingga sulit sekali bagi udara segar untuk masuk.

Kepala Satpam sedang menginterogasi si pelaku yang terduduk di pojokan ruangan dekat dengan posisi mang Jaya berdiri. Berhadapan dengan sang kepala keamanan adalah dua orang korban satunya seorang ibu sedang di sebelahnya seorang wanita yang usianya relatif lebih muda, posisi mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja yang di atasnya ada tumpukam buku, serta beberapa gelas air mineral.

Aku hanya mengamati aktivitas mereka dari balik punggung korban. Tak lama kemudian datang dua orang polisi membawa sang pelaku kejahatan, serta meminta korban dan beberapa saksi untuk datang ke kantor polisi untuk dapat dimintai keterangan. orang di sekeliling pos keamanan sudah membubarkan diri hingga membuat ruangan ini menjadi sedikit segar.

Kepala satpam menyerahkan 2 lembar uang lima puluh ribuan. "Ini buat lo dan Jaya sebagai tanda terima kasih dari ibu ini", ujarnya.

Aku hanya cengengesan saja melihat si biru yang begitu menggiurkan itu.
"Buat mang Jaya aja, saya cuma kebetulan lewat karena mau ke tempat emak". Aku menolak dengan halus dan memberikan semua uang itu pada mang Jaya.

"Wah makasih Bim, gue emang lagi butuh duit buat bayar perpisahan sekolah anak gue", ujar mang Jaya sambil memelukku penuh haru.

"Udah kayak teletubies aja lo mang", candaku membuatnya melepaskan pelukannya. Aku tertegun sejenak ketika mang Jaya yang dulunya seorang preman di kampungku, bahkan terkenal kejam saat kami masih sering tawuran kini bisa menitikan airmata.

"Gara-gara pada pelukan saya jadi lupa deh tuh ngenalin diri. Ini loh mbak orang yang tadi berhasil menangkap pencuri handphone ibunya si mbak", Ujar kepala Satpam sambil mengarahkan ujung jempol kanannya kepadaku.

"namanya Bimbim", lanjutnya.
Bim atau Bimbim adalah nama lainku. Sejak kecil hingga sekarang nama itu masih melekat padaku terutama di lingkungan tempat tinggalku.

Adapun nama Abi hanya pernah ada sejak aku bekerja di tempat permainan anak itu.

Semua bermula saat aku masih di departemen merchandise yang kebetulan juga memiliki karyawan dengan nama Adi sepertiku.

Nama panjangnya Adi Surono usianya baru 19 tahun saat pertama kali bertemu. Diusia semuda itu nama belakangnya bagai sebuah kecacatan di era modern. Sehingga dia hanya ingin dipanggil Adi.

Untuk membedakan maka sang koordinator memilih memanggilku dengan nama Abi yang merupakan inisial dari namaku. Satu huruf dari nama depan dan dua huruf dari nama belakang.

Bayangkan jika itu terjadi pada Adi Surono. Sudah pasti dia akan dipanggil Asu yang merupakan nama hewan dalam bahasa daerah tertentu.

Sang ibu bangkit dari duduknya kemudian menundukan tubuhnya seperti orang yang sedang rukuk sambil mengucapkan arigatou gozaimasu berkali-kali.

"Heleeh sejak kapan pasar ini kedatangan turis?", hanya kalimat itu yang melintas di dalam kepalaku dengan tatapan aneh dan mulut membentuk lingkaran donat.

-------

Judul nya gak nyambung ya? Biarin lah.. biar pada penasaran.. abis itu pada bilang "idiih gak nyambung banget".

Mungkin juga ada yang bilang "kok percakapannya gak pake EYD sih?". Bukankah realitanya memang gitu? Jarang dari kita yang pake EYD saat sedang berbicara. Apa lagi anak zaman now kalo ngomong kadang bahasanya sulit dipahami oleh orang tuanya sendiri.

Btw..
Selamat beristirahat.

Oyasumi nasai

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang