52. Dunia Fantasi

137 11 5
                                    


Sebuah sedan putih membelah angin di kawasan gunung sahari. Kemacetan Jakarta pagi hari menjadi sebuah keniscayaan tapi jika siang hari bagai sebuah undian, tergantung hoki.

Suara penyiar radio yang mengabarkan kondisi lalulintas Jakarta memenuhi ruang dengar sang penghuni kendaraan.

"Kamu yakin, aku boleh ikut?", tanya seorang gadis yang berbalut t-shirt hitam dan celana jins yang menggantung di betis sehingga menampakan kulit yang bersih bak pualam.

"Selow aja, emang apa enaknya sih jalan cuma berduaan ama cowok? Gue kan bukan homo juga", jawab pria gendut yang sesekali sibuk ngemil.

Sang pengemudi hanya tersenyum saja saat mendengar ocehan pria yang duduk sejajar dengannya itu.

Wanita yang duduk di belakang pengemudi itu hanya tersenyum kecil. Ia menertawai kekonyolannya saat berkata kepada orangtuanya untuk memberikan surat keterangan dokter kepada manajer tempatnya bekerja.

"Kamu pikir tempat kerja itu seperti sekolah? Kamu kabari saja manajer kamu itu lewat telepon. Besok saat kamu masuk kerja, serahkan surat itu", jawab orang tuanya sambil mengusap kepala sang anak.

"Hika, Lo serius? Gak pernah ke Dufan?", tanya pria itu yang tak lain adalah Hendra.

Hika hanya menggelengkan kepala saja untuk menjawab pertanyaan itu.

"Parah!! Tinggal di Jakarta bertahun-tahun tapi gak pernah ke Dufan.. tapi pernah ke Disney Land ya?", canda Hendra.

Hika tak ingin menanggapi gaya bercandanya Hendra karena ia tahu bahwa Hendra memang seperti itu.

"Kak Hendra kenapa mau diajak Kak Abi pergi?", sebuah pertanyaan yang sejak tadi ingin ia sampaikan namun tak juga kesampaian.

"Dipaksa, dan gak enak nolaknya.. lagipula sekalian nemenin orang yang lagi frustasi karena kena hukuman skorsing". Jawab Hendra dengan mulut penuh asupan.

Abi memang terkena skorsing selama 5 hari. Hika tau berita itu dari Hendra semalam, saat ia dipaksa Hendra untuk bolos kerja. Abi memang tak membicarakan itu dengannya bahkan hingga kini Hika tak tau penyebab hukuman itu diberikan pada Abi. Tentu saja sanksi itu karena hasil persidangan Abi kemarin.

"Makannya gak usah buru-buru mas, di bagasi masih ada banyak kok", celetuk suara merdu milik mbak Nida.

Pelayan Hika itu memang ikut serta untuk menemani anak majikannya. Kekhawatiran orang tua gadis itu memang terlalu berlebihan, meskipun Hika sudah bilang bahwa ia akan duduk manis saja tapi papanya tetap bersikukuh pada asumsinya.

Mana mungkin ada anak muda yang tidak akan mencoba permainan di Dufan? Anak kecilpun akan terpancing adrenalinnya untuk mencoba permainan yang ada ditempat itu. Apalagi Hika yang ikut pergi karena ajakan kawan-kawannya.

"Emm iya mbak, makasih sudah diingetin", jawab Hendra kemudian menurunkan ritme mengunyahnya.

Awalnya Hendra tak tahu jika Hika harus dikawal seperti itu, ia fikir mbak Nida hanya membantu memasukan barang saja ke dalam bagasi mobil yang akan mereka pakai. Saat mbak Nida ikut duduk di kursi belakang, berdampingan dengan Hika menghadirkan secercah harapan bagi Hendra.
-------

Ingin rasanya ia banting ponsel yang sedang dipegangnya namun ia urungkan. Bukan karena sayang ponsel tapi karena ia sedikit jaim dihadapan mbak Nida. Hendra hanya bisa membuang nafas panjang dari mulutnya sebagai gantinya.

"Belum bisa ditelepon?", tanya Hika. Gelengan kepala Hendra sudah menjadi jawaban paling singkat yang mudah dimengerti.
Mereka kembali duduk di sebuah bangku tak jauh dari  wahana Bianglala yang sedang berputar dengan lambat. Hendra mengirimkan sebuah pesan singkat melalui WA, berharap segera dibaca oleh Abi.

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang