22. cemas

117 14 16
                                    

Setelah mendengar kabar bahwa Abi sudah sadar, Hika berusaha mencari cara untuk bisa meninggalkan counternya. Ia harus sedikit bersabar karena ada beberapa pengunjung yang bermaksud untuk membeli tiket esok hari.

Saat situasi sudah cenderung sepi, Hika menitip pesan pada Tya bahwa jika ada leader yang bertanya kepadanya tentang keberadaan Hika agar bisa menyampaikan bahwa Hika sedang ke toilet. Hika berusaha untuk tetap tenang meski perasaannya berkecamuk tak menentu.

"Dia pasti baik saja", batin Hika selalu meneriakan kalimat itu.

Langkah Hika memang tidak cepat, ia mencoba bersikap biasa. Setenang air tanpa gelombang.

Sosok Hendra berpapasan dengan dirinya. Keduanya saling melempar senyum tanpa banyak memberi kata.

Hika sudah berada di depan sebuah pintu yang pada daunnya tertulis "klinik". Hika menarik nafasnya dalam - dalam. Mencoba menguatkan diri dan perasaannya.

Gagang pintu itu ia dorong perlahan tapi tak menemukan seorang pun disana.

Ia berjalan perlahan menuju sebuah tirai dan sedikit menyibaknya.

Orang yang berada di balik tirai menatapnya sesaat sebelum tersadar bahwa ada wanita yang datang.

Abi yang masih dalam posisi merebahkan diri segera menutupi ketelanjangannya yang hanya menggunakan T-shirt dengan menarik selimut menggunakan tangan kanannya.
Yudi yang menyadari posisi selimut Abi yang tidak rapi segera memperbaikinya.

"Ngapain kamu disini?", tanya Yudi tapi tak dipedulikan oleh Hika.

Hika mendekati Abi yang tak mau menatapnya. "Daijobu desu ka? (kamu baik-baik saja?)", tanyanya pelan.

"aku baik", jawab Abi pelan.
Hika merasa jawaban itu seolah dibuat-buat saja.

Jawaban itu justru membuat Hika mulai emosi. Dia menarik nafas dengan dalam kemudian membuangnya lagi untuk sekedar menenangkan emosi.
"kamu bohong", ujar Hika kemudian terdiam sejenak.

Hika mencoba untuk memendam emosinya tapi gagal. Suaranya kini mulai terdengar bergetar.
"Kenapa kamu gak mau mendengarkan aku untuk makan?", lanjutnya tanpa ada jawaban apapun dari Abi.

Yudi hanya mematung, tak ingin terlibat dengan percakapan ini.

"Kenapa kamu gak sayang dirimu sendiri? apa kamu ingin mati? memangnya kamu fikir enak jika hidupmu dibayangi kematian?? tidak Kak! sama sekali tidak enak". Nada suaranya meninggi berbanding terbalik dengan air matanya yang mulai mengalir turun.

"Gue gak butuh dimanjakan dan gue gak butuh kamu!", jawab Abi sambil menahan rasa nyeri.
Sakit yang bukan hanya berasal dari lengan kirinya tapi juga datang dari hatinya.

Jawaban dari Abi sungguh mengecewakan bagi Hika. Mungkinkah orang itu tidak peka dengan perasaannya? Atau memang saat proses penciptaannya dia tidak sempat diberikan perasaan oleh Tuhannya karena dia bolos saat kelas pembagian rasa.

Hati Hika sedikit tersayat mendengar jawaban itu.
"kamu memang gak butuh aku, tapi bukan berarti aku gak butuh kamu", tangis Hika mulai pecah.

Abi masih tak mau memandang Hika bahkan dengan nada sedikit serius dia meminta Yudi untuk segera mencari mentor pengganti. Tapi dengan setengah bercanda malah ditolak oleh Yudi. "Jangan mikirin kerjaan dulu Kew, lo bisa istirahat sejenak atau duduk manis aja", jawab Yudi dengan cengengesan.

Lagi lagi Hika kecewa dengan pernyataan Abi. Hika makin mendekat, bahkan duduk di pinggir ranjang itu. Dia ingin sekali mendengar kalimat yang tadi ia dengar untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.

"Gak.. saya tetep minta diganti!", ujar Abi lagi dengan menatap mata Yudi.

Ternyata memang bukan mimpi. Hikari kecewa dengan sikap yang Abi ambil.
"Kamu jahat! jahat!", ujar Hika dengan terisak sambil memukul pelan dada Abi.

Meski diserang seperti itu Abi hanya diam, tak membalas atau sekedar menahan serangan itu.
------

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang