48. sang PIC

79 12 7
                                    


Abi bergerak menyusuri barisan anak-anak yang sedang menunggu giliran dipasangkan gelang pengaman. Sementara barisan dewasa dibuat terpisah. Berada di belakang barisan anak.

Mereka sengaja membuat jarak diantara keduanya karena lebih memudahkan pengerjaan pemasangan gelang yang didalamnya sudah tersimpan data kategori pengunjung yang sudah diregistrasi kemarin.

Bagi mereka yang hanya melihat tampilan gelang pengaman itu maka akan terlihat sama saja. Bentuk ataupun warna tak ada yang berbeda tetapi data yang tersimpan dalam chip itu akan menentukan jumlah yang harus dibayar oleh rombongan itu.

Rombongan yang datang hari itu tidaklah banyak, hanya ada 3 grup saja. Sebuah grup bernama "mama rempong" yang hanya berjumlah 18 anak dan 18 dewasa, meski jumlah rombongannya kecil tapi nyatanya grup seperti itu justru betul-betul bikin pusing kepala, jika bertemu grup yang seperti itu maka hanya dibutuhkan seorang petugas yang punya jiwa melayani, penuh senyum dan pemaaf, tidak baper dan rela untuk direpoti seperti Firman.

Grup lainnya adalah dari unsur sekolah setingkat SMP. Sekolah ini memiliki cabang seantero indonesia bahkan dengan jenjang yang sangat lengkap mulai dari TK hingga SMA. Mata yang sipit dan berkulit putih hampir mendominasi barisannya. Mereka datang menggunakan 4 bis saja.

Grup seperti ini sangat mudah untuk diarahkan karena usia mereka yang sudah masuk remaja sehingga tak perlu butuh banyak petugas untuk mengeksekusi grup seperti ini.

Satu grup yang datang paling akhir adalah grup yang berasal dari sebuah perusahaan yang mengadakan family gathering sekaligus CSR. Jumlah tiket yang teregistrasi diawal berjumlah 840 anak dan 270 dewasa. Grup dengan pola seperti ini biasanya sangat merepotkan bila mereka datang terpisah.

Lobi mall pagi ini penuh dengan suara gurauan para bocah yang tak henti bercanda. Peluh memenuhi dahi Abi dan juga beberapa rekannya. Sesekali mereka mengelap keringatnya dengan cara berbeda.

Cara tersopan adalah dengan menggunakan sapu tangan atau tisu yang mereka simpan dibalik jas yang mereka gunakan, sedangkan cara terburuk adalah sekedar mengelap dengan apapun.

Abi menggunakan ujung lengan jas untuk mengusap tetesan keringatnya. Terkesan jorok tapi cuma itu jalan pintas yang ia punya. Beruntung jas yang mereka gunakan berwarna gelap sehingga tidak menimbulkan bekas.

Hendra justru memiliki cara unik untuk mengusap keringatnya. Dia sering menaruh wajahnya di punggung temannya.

"Kew, gue lelah banget... butuh air Kew", ujarnya sambil memeluk Abi dari belakang.  Abi masih belum terganggu bahkan dia menjawabnya dengan santai. Dia sibuk memasukan gelang yang tersedia di tas travel ke dalam tas ransel yang ia pakai.

"Lo dikasih jatah masang gelang ke emak-emak malah lemes gitu.. semangat dong bro".

"Helehh apaaan, hari ini emak-emaknya rempong semua.. gak asik", Hendra masih merapatkan tubuhnya.

Rapatnya Hendra membuat Abi sedikit curiga dengan tingkah sahabatnya itu.

"Bangke ... lo ngelap keringat ya?", jawab Abi setengah berbisik.

Anak kecil yang sedang menunggu Abi untuk dipasangi gelang, seolah tak terpengaruh dengan apa yang Abi lakukan di barisan terdepan. Mereka sibuk melempar gurauan dengan teman disampingnya.

Hendra hanya terkekeh tak merasa berdosa.

"Jangan marah Kew, nanti cepat tua.. btw makasih ya", guraunya sambil ngeloyor pergi.

Abi memang kesal dengan kelakuan Hendra yang tak juga berubah tapi ia bisa apa? Tak mungkin baginya untuk marah dimuka umum. Lebih tak mungkin lagi jika ia mengejar Hendra dan memintanya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang