16. virus 25 jigo

161 13 24
                                    

Dua lima jigo.. dua lima jigo.. jadi seratus.
Pak haji disko.. pak haji disko.. kolornya putus.
Minta jahitin.. minta jahitin.. sama pak hasan
Pak hasan capek.. pak hasan capek.. dikasih tape
Tapenya hangus.. tapenya hangus.. di kasih ingus..
Ingusnya meler.. ingusnya meler.. dikasih ...?

Suara tawa mengiringi lagu yang sangat merakyat di perkampungan itu. Entah siapa yang menciptakan tapi bisa dipastikan bahwa lagu itu sudah turun temurun dari generasi pendahulunya. Bukan hanya anak-anak yang hafal lagu itu. Para orang tua mereka pun pasti sudah hafal bahkan sulit untuk melupakannya.

Siapa yang harus disalahkan? Pak RT yang terlalu sibuk menerbitkan berbagai surat pengantar untuk keperluan warganya? Atau pak lurah yang sibuk dengan tugas menandatangani berbagai macam surat dan jarang melakukan tegur sapa pada warga yang dipimpinnya?

Ini bukan salah siapapun. Namanya hidup dikampung ya pasti seperti itu. Bahkan anak komplek sekalipun akan terjangkiti virus "dua lima jigo" jika para anak komplek itu menginap di rumah saudaranya yang berada di pemukiman ini. Saat mereka kembali ke komplek maka anak yang sudah tertular itu akan dengan senang hati mengajarkan pada teman-temannya yang belum mengerti virus dua lima jigo.

"Kalo ada yang berani lanjutin gue kasih duit seribu deh", ujar seorang bocah berkepala botak.

Teman si botak yang hidungnya kini sedang digantungi cairan berwarna hijau justru mengancam bocah berkaki penuh koreng yang akan diberi hadiah oleh si botak.

"Kalo lo berani ngomong jorok bakal gue bilangin emak lo nih". Merasa dirugikan oleh bocah berlendir, maka si bocah koreng pun memukuli si lendir hingga menangis.

Semua itu belum selesai hingga suara teriakan seorang wanita menjadi sebuah nyanyian merdu bagi warga kampung. Makian dan segala nama binatang pun lepas landas menuju langit. Merasa dirinya terancam oleh si emak-emak maka si bocah koreng melarikan diri melewati banyak gang di pemukiman itu.

Seorang pria dengan ujung celana dibawah lutut sedang menutupi telinga anak laki berusia 6 tahun dengan berkalung empeng. Dia tak ingin telinga keponakannya yang memiliki pipi tembem itu dikotori oleh sumpah serapah yang seharusnya tak perlu diucapkan apalagi dengan suara nyaring.

"Om kita jadi ke pasal kan ya?", tanya bocah gendut bernama faiz kepada pamannya setelah telinganya terbebaskan.
Sang paman hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala.

Pria itu menyusuri tiap gang yang saat dia kecil tak terasa sesempit ini. Seiring dengan waktu yang berjalan maka tanah lapang tempat mereka biasa main dahulu pun sudah menjadi sebuah kantor kelurahan dan sebuah sekolah menengah dengan status negeri.
Halaman tetangga yang biasa dijadikan tempat main galasin, kelereng, lompat tali sudah menjadi kontrakan tanpa celah.
Bahkan langit yang dulu bisa mereka lihat dari jalan-jalan kampung pun kini sudah tertutupi oleh bangunan loteng tiap rumah yang dibuat menjorok ke depan melebihi batas tembok rumah mereka.

"Om bimbim.. hengong faiz gong. Hobilnya lame. Faiz hakuk", ujar bocah berempeng itu.

"Gak malu? Di jalanan pake empeng? Lepas empengnya!", ujar sang paman sambil berjongkok untuk memberikan punggungnya. Tanpa penerjemah pun dia tau kalau keponakannya itu minta digendong.

Sang bocah melepas empeng dari mulutnya namun membiarkannya tergantung seperti sebuah bandulan kalung bermata batu kecubung.

Mereka menyebrangi jalan itu dengan hati-hati.
"Om, nanti aku boleh jajan kue cucul gak? sama es cendol", rayunya saat masih hinggap dipunggung sang paman.

"iya nanti kita beli", jawabnya sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Sesampainya di seberang jalan yang merupakan area parkir pasar, bocah berempeng itu segera turun setelah sang paman kembali merendahkan tubuhnya.

"Kamu ke tempat nenek duluan ya? nanti kalo nenek nanyain om, kamu jawab aja om lagi beli cendol dan kue cucur. ngerti gak?", sang paman memberi instruksi dengan pelan yang dijawab anggukan olehnya.

"jalan aja, gak usah buru buru dan..... dan apa deh? om kok jadi lupa ya?" Pria itu menggaruk kepala yang tak gatal agar sandiwara lupanya bisa berhasil.

"Om lupa ya? Om udah tua sih jadi gampang lupa. Makanya cepet punya pacal om. Om Juna aja udah punya. Moso om kalah sama adik om", kicau bocah itu yang membuat sang paman menggelengkan kepala.

"Serius!", tegas sang paman dengan tatapan tajam. Sang bocah empeng malah cengengesan diperlakukan seperti itu.

"kalo ada yang gangguin aku maka aku halus teliak minta tolong, kalo ada olang gak kenal ngajak aku pelgi maka aku juga harus teliak minta tolong", jawabnya kemudian dengan kecadelan pada huruf R.

"yeeiii pinter", puji sang paman.
Anak itu kini berhias senyum di pagi hari.

Senyum yang memang seharusnya tercipta sehingga bisa memberi emosi bahagia dalam menjalani kehidupan hingga malam menjelang.

Bocah itu berjalan dengan pinggul dan perut bergoyang-goyang. Sang paman tidak takut keponakannya itu tersesat karena seluruh penghuni pasar sudah kenal dengan bocah berkalung empeng itu.

Sang paman menuju tukang cendol dan juga tukang cucur yang berada di sebuah jalan letaknya disisi gedung bangunan pasar.

Pasar ini adalah bangunan yang baru direnovasi setelah kebakaran melanda. Sebelum itu pasar ini hanya pasar tadisional beratap seng. Jika hujan datang maka setiap sudutnya akan menjadi becek. Tapi itu hanya cerita lama saja. Kini pasar itu menjadi lebih modern dengan bangunan yang lebih manusiawi sehingga para pembeli tidak perlu takut becek lagi.

Dan jalan yang ada disisi pasar tetap dijadikan lahan pasar yang sifatnya temporer, karena tak sampai jam 11 sudah akan bersih dari para pedagang. Sedangkan mereka yang dipayungi oleh bangunan pasar dapat berjualan hingga jam 10 malam.

"Tolong..", jeritan suara wanita dari dalam pasar membuat pria itu menitipkan barang belanjaannya pada penjual cucur.

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang