"Saya telanjang?", tanya Abi dengan wajah kaget.
Hika menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Abi.
"Kamu pakai ini. Baju dan jaketmu nanti kita cuci di Vila", terangnya sambil menyerahkan t-shirt berwarna biru.
Abi meminta Hika untuk mengalihkan pandangannya. Tanpa diminta 2 kali wanita itu segera memutar tubuhnya, membelakangi pria itu. Abi masih memastikan bahwa Hika benar-benar tak melihat ke arahnya. Setelah dirasa aman maka ia mulai melepaskan pakaian atasnya satu persatu.
Tanpa ia sadari nyatanya Hika sudah memperhatikannya sejak Abi mulai melepas Tshirtnya. Ia terlanjur yakin bahwa Hika tak akan membalikan tubuhnya, sehingga dengan begitu bodohnya Abi tak lagi mengecek keadaan Hika.
"Cewek polos kayak gitu, paling juga akan malu kalau liat cowok setengah bugil", begitu yakinnya Abi sehingga ia lengah.
Hika sendiri masih asik menikmati pahatan otot lengan dan juga bahu Abi. Meski tak sebesar para atlet bina raga tapi otot-otot itu tetap terlihat jelas.
"Bentuk tubuhnya lumayan", gumam Hika. Kapan lagi ia bisa menikmati tubuh itu selain jika sudah berhasil menikahinya. Atas dasar kesempatan yang tidak pernah datang 2 kali itulah maka ia menikmati lekukan tubuh itu dengan lekat.
Sebuah goresan tergambar di punggung kanan Abi ke arah kiri menuju pinggang. Bekas lukanya hanya sepanjang 15 centimeter. Meski samar tapi jelas tegas bahwa luka itu diciptakan bukan tanpa keinginan si pemilik tubuh.
Tangan Hika terjulur ke depan. Jari telunjuknya mencapai tujuannya lebih dahulu. Tangannya merambati bekas luka itu, menyebabkan rasa dingin merayapi punggung Abi searah dengan rabaan telunjuk Hika itu.
Abi terdiam sesaat sebelum menyadari bahwa itu adalah sebuah usapan lembut.
Ditepisnya tangan itu sambil memiringkan badannya."Gak ngintip kok ngegerepe badan orang.. gak sopan!", hardik Abi.
Hika terdiam sesaat mencoba mengerti arti kata ngegerepe itu tapi ia tak mengerti.
Ketidak mengertian itu menjadi kesempatan bagi Abi untuk segera memakai T-Shirt bertuliskan "KEBUN TEH PT. Agro Bumi Sejahtera" pada bagian punggung.
"Luka kenapa itu?", tanya Hika saat Abi baru saja menarik turun T-shirtnya.
"Cuma luka lama.. zaman masih ingusan", jawab Abi.
"Iya aku tau kalau itu luka lama.. tapi kenapa?". Hika masih penasaran.
"Tawuran antar kampung". Abi menjawabnya dengan singkat.
Abi kembali duduk di balai, melipat baju dan jaket bekas pakainya kemudian memasukan kedalam kantong plastik.
Hika masih mengerutkan dahi karena sedang mencari padanan kata tawuran."Gak ngerti kan? Percuma juga kalau dijelasin". Abi tersenyum licik sesaat lalu meneguk teh yang sudah tak hangat lagi.
"Jahat! Aku gak ngerti tapi kamu malah tertawa gitu", Hika menundukan wajah sementara kakinya menendang kerikil yang ada di dekatnya.
Abi hanya tersenyum puas melihat gadis Jepang itu sedang dalam keadaan merajuk. Karena Abi tak merespon sikapnya maka Hika ikut duduk di samping Abi dan ikut meminum teh itu.
"Tanganmu baik-baik saja?", tanya Hika memanaskan suhu udara yang sedang dingin sejak tadi.
"Gak apa-apa kok, saya bawa obatnya di tas", jawab Abi sambil mengupas pisang rebus.
"Kamu kenal dengan penduduk sekitar sini?", Abi mulai kepo.
"emm Kenal... karena mereka ini pekerja di kebun teh milik papa". Sebuah jawaban yang membuat Abi sedikit kaget tapi Abi tetap berusaha setenang mungkin.
"saya jadi gak pede nih". Abi menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal, mungkin karena cipratan air irigasi tadi.
"emm gak pede? maksudnya?", katanya dengan terbata-bata.
"gak pede buat deketin kamu", canda Abi dengan gaya gombal.
"Eeeiiii", cuma itu yang terucap oleh Hika, bahkan wajahnya terkesan kaget. Respon itu sangat lazim bagi orang Jepang dalam mengungkapkan perasaan kaget dan Abi tau hal itu dari banyak film yang pernah ia saksikan di youtube, meski begitu bagi Abi respon Hika sanggat tidak lazim dan membuat Abi jadi enggan untuk meneruskan candaannya.
"saya gak cocok jadi pelawak ya? padahal udah berusaha biar lucu, malah bikin orang jadi kaget", jawab Abi sambil tertawa sedangkan tarikan nafas panjang terdengar darinya.
"Tumben banget si Hika jadi kaku gini? Gak asik banget", begitu kalimat yang bergelayutan di kepala Abi.
Mereka saling diam untuk beberapa saat, sesekali mereka meneguk teh untuk menghilangkan rasa canggung.
"emm kamu lapar gak? kita makan dulu yuk? di pinggir jalan sana ada penjual makanan enak loh", katanya sambil berupaya melepas kegundahannya. Arloji di tangan kiri Abi masih menunjukan pukul 6 lebih 35 menit.
"gak jauh kan? oke deh", jawab Abi kemudian bangkit dari balai bambu itu.
Setelah mengucapkan terimakasih pada si pemilik rumah, mereka pun meninggalkan tempat itu.
Mereka melintasi jalan setapak di area perkebunan hingga mencapai sebuah jalan yang cukup besar."masih jauh gak? saya capek nih", tanya Abi sambil mengatur nafas yang tersisa satu persatu.
"lelah ya?", tanyanya sambil menghapus keringat yang mulai bermunculan di dahi.
Sadar bahwa Hika mulai menjamahnya lagi maka Abi segera menepis tangan itu. Tangan yang sejak tadi sudah menjamah tubuhnya.
"bukan... tapi jadi lapar betulan. tadi bilangnya dekat ternyata sudah jalan 20 menit belum juga sampai", jawab Abi sambil mengusap keringat.
Memang sih kalau di Jepang sana, warganya senang banget jalan kaki bahkan seperti sebuah budaya, makanya mereka gak berasa capek kalo disuruh jalan.
Kalau meminjam istilah di kampungnya Abi maka orang seperti Hika itu seperti kuda yang tidak punya pusar (udel/bodong) sehingga kuat kalau disuruh jalan jauh.suara tawa terlontar dari Hika bahkan tawanya cukup lepas. Abi hanya menatapnya dengan segudang pertanyaan.
"Memangnya ada yang lucu ya?", dengan rasa heran Abi bertanya pada Hika.
"Wajah kamu kotor", katanya masih dengan tawa terbahak-bahak.
Abi mencoba membersihkan wajah dengan tangan yang satunya lagi tapi sepertinya tak menyelesaikan masalah, karena tawanya belum juga berhenti.
Lagi-lagi Abi merasa aneh dengan sikap Hika yang biasanya pendiam kini malah bisa tertawa lepas seperti itu.
"Mungkin selama ini dia jaga image aja kali ya?", Abi mencoba berbaik sangka pada perempuan yang ada di depannya itu.Hika menawarkan bantuan untuk membantu membersihkan tapi ditolak. Abi malah mengindarinya dengan cara menyebrangi jalan itu dengan harapan agar tak terjadi kontak fisik yang berlebihan.
"Kok kesana?", teriak Hika penuh tanya kemudian mencoba menyusul kekasih hatinya itu dengan ikut menyeberangi jalan tanpa melihat arah kiri dan kanan.
Sebuah tindakan bodoh yang baru kali ini dilakukan oleh Hika dalam hidupnya. Seolah tidak pernah tinggal di Jepang yang konon lebih tertib dalam urusan berlalulintas. Sebuah motor melintas dengan kecepatan cukup tinggi hingga bisa menabraknya. Suara klaksonnya justru membuat si anak Jepang itu menjadi terdiam, dia panik.
--------
KAMU SEDANG MEMBACA
tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu)
Romance"Mantan itu bukan untuk dilupakan, karena melupakan adalah bagian dari proses mengingat yaitu mengingat untuk tidak mengingat". Cerita ditulis secara suka-sukanya saya dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.. Jangan dikejar-kejar jadwal up date-ny...