38. Bukan ujian hidup lo

87 14 2
                                    

Abi terdiam sejenak. Niatnya mengalihkan pembicaraan ternyata malah menjadi sebuah dukungan.

"Tentang biaya Rumah sakit tempo hari, saya ucapkan terimakasih dan saya akan upayakan menggantinya", lanjut lirih.

"hahaha tentang itu... kamu gak perlu menggantinya karena itu semua permintaan Hikari. Masa iya permintaan anak sendiri disuruh bayar.. ada ada aja kamu ini", katanya kemudian meminum air putih yang ada dihadapannya.
Abi mulai kehabisan pokok pembicaraan di hadapan orang tua ini.

"Boleh saya bertemu Hikari", sebuah pertanyaan pamungkas itu meluncur dari mulut Abi.

"Kamu boleh masuk..  dia ada di kamarnya mungkin sedang istirahat atau bisa jadi dia sedang menunggumu".

"Mari mama antar".

Kamar Hikari letaknya di bagian belakang tak jauh dari ruang makan berbatasan dengan pintu belakang yang mengarah pada kolam renang.

"Silahkan masuk", kata mama sambil membukakan pintu saat kami telah sampai di depan kamarnya.

"Mama tinggal ke dapur dulu ya", kata Mama sebelum meninggalkan Abi.

Masuk sendiri ke sebuah kamar seorang gadis membuat Abi terdiam di depan pintu kamar itu. Ia masih menimbang antara masuk atau tidak. Logikanya mulai berfikir akan baik buruknya masuk ke kamar itu.
"kami hanya berdua di dalam sana, bagaimana jika nanti ternyata terjadi sesuatu antara aku dan dia di dalam. Aku hanya manusia biasa yang mungkin saja terbujuk oleh rayuan iblis".

Getaran ponsel di saku menyadarkannya sesaat. Layar ponselnya bertuliskan "Yudi Reborn". Setelah menggeser tombol pada layar ke arah kanan maka merekapun memulai komunikasinya.
Abi mencoba melunakan suaranya agar tak mengganggu penghuni rumah itu.

"Hallo, kenapa boss?".

"Lo sudah sampe rumah Hikari belum? jangan bilang kalo lo masih tidur?", godanya.

"Baru sampe nih. abis ngobrol sama bokapnya tapi belum ketemu Hikari. kenapa?", tanya Abi lagi.

"lo kirimin peta lokasinya ke Gue terus lo fotoin kondisinya. gue tunggu kabarnya, mumpung baru bubaran nih yang shift pagi", jelasnya.

"iye gue faham maksud lo.. udah dulu ya".  obrolan melalui ponsel pun berakhir kemudian dikirimkannya peta lokasi rumah itu ke Yudi.

"Thank you bro.. gue tunggu foto cantiknya", sebuah pesan singkat mampir di ponsel Abi setelah peta lokasi itu telah terkirim bahkan sudah terbaca.

"ini minumnya mas, teh setengah manis... saya taruh di dalam ya?", suara seorang pelayan dari arah belakang.

Pelayan yang ini berbeda dengan yang sebelumnya. Usianya tak jauh dari usia Abi. Cantik, bersih namun terlihat lebih dewasa jika dibandingkan dengan pelayan yang pertama.

"kok tau?". Abi sedikit heran.

"Mbak Hikari sering cerita tentang mas Abi", katanya kemudian membuka pintu lebih lebar dan masuk lebih dalam.

semilir hawa sejuk dari dalam ruangan menyapa kulit sedangkan keharuman aroma teh menusuk indera penciuman. Kamar ini bernuansa biru muda. Sayup terdengar suara bip dengan rentang waktu yang statis. Tak lama kemudian sang pelayan sudah keluar dari ruang terdalam dari kamar ini.

"Silahkan masuk Mas, Mbak Hikari masih tidur tapi selimutnya sudah saya Rapihkan kok", ujar wanita itu seolah membaca keraguan Abi  yang masih mematung dekat pintu kamar.
suara "bip" makin terdengar nyata seiring langkah kaki Abi yang semakin dalam menjelajahi kamar yang ternyata terdiri dari 2 ruangan.

Saat masuk yang ditemui hanya sebuah kamar mandi dengan pintu menggunakan kaca buram, di sebelahnya berdiri sebuah lemari pakaian dan juga rak sepatu.

Dari posisi Abi berdiri juga nampak sebuah meja belajar dengan berhias sebuah laptop dan juga setumpuk buku di sebelahnya, serta gelas minum dan juga beberapa potong bolu lapis yang terbujur rapi di atas piring.

Pelan tapi pasti Abi mulai melangkahkan kaki untuk menelusuri lebih dalam. Ujung tempat tidur dengan selimut berwarna pink sudah mulai terlihat. Abi semakin mendekati ruang utama dari kamar itu.

Langkahnya terhenti di dekat meja belajar, Dia terdiam, lidahnya kelu tak bisa mengucapkan satu kalimatpun. Seolah ototnya terasa lemas, badan terasa tak bertulang saat  melihat tubuh yang sedang tertidur itu.

-------

Abi pov.

"Ini bocah sakit apa ya?", gumamku setelah melihat tubuh Hika yang masih lelap dalam tidurnya.

Tubuhnya kini berhiaskan selang oksigen, selang infus dan alat pendeteksi detak jantung lengkap dengan monitor yang menunjukan grafik jantung beserta angka-angka yang aku sendiri tak tahu cara membacanya.

Aku ambil beberapa foto dan mengirimkannya pada Yudi. Aku makin mendekat pada sosok itu mengambil fotonya dan mengirimnya lagi.

ponselku kembali bergetar.. namun aku memilih untuk tidak menerima panggilan itu. kubalas dengan mengetikan pesan whatsapp.

"Jangan nelpon dulu! dia lagi tidur pules", kukirimkan pada Yudi.
Pesan yang ku kirim itu dengan cepat dibalas oleh Yudi.

"itu sebenernya di rumah apa di rumah sakit sih?", katanya.

"di rumah! tadi udah gw kirim lokasinya. Emangnya blom lo cek?", jawabku lagi.

"emang dia sakit apa kok sampe banyak alat kayak gitu?". Sebuah pertanyaan yang juga menggelitik rasa ingin tahuku.

"Kecapean ngitung duit setoran penjualan tiket", jawabku dengan menyisipkan lambang senyum.

"Orang gila! Ditanya serius malah ngelawak".

"Lo gak usah ikutan serius, karena ini bukan ujian dalam hidup lo juga kelles". Jawabku lagi. Yudi kembali mengulangi pertanyaannya sebagai tanda bahwa ia memang sedang tidak bercanda.

"Gw gak tau. kalo mau ke sini gak usah bawa banyak orang. Klo bawa banyak makanan gak papa", kataku memastikan.

"Okay, paling gue berangkat sama Tya dan Hendra doang", balasnya tanpa ku jawab lagi.

---------

Segini dulu ya.. sudah ngantuk.

tak semanis teh setengah manis (Rehat Dulu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang