13. Topeng

1.4K 114 3
                                    

"Mungkin aku terlalu gengsi untuk meminta pengertianmu. Dan mungkin, kamu pun terlalu gengsi untuk mau mengerti tanpa pintaku."

🐇🐇🐇

"Dari mana aja lo?"

Tania mengembungkan pipinya saat mendengar nada suara Alta. Ia yakin pemuda itu marah dan sebal padanya karena pergi tanpa meminta izin.

"Abis cari makan," jawab Tania terpaksa berbohong. Bahunya yang melorot terpaksa ia tegakkan lagi. Tania tak sudi terlihat menyedihkan di depan orang lain.

"Cari makan sampai berjam-jam?!" Alta memasang tampangnya yang paling mengerikan.

"Gue laper, Kak." Tania memegangi perutnya dengan wajah memelas.

"Semua orang di sini kecewa sama lo. Mereka nyariin lo, mereka mau ngajak lo masak, mau ngajak lo buat rajutan, mau cerita sama lo. Tapi lo nggak ada, ilang gitu aja!"

"Iya, iya, gue minta maaf. Jangan sirius-sirius banget--"

"Jangan ngeledek gue, Tania!"

Tania mengerjap polos, "siapa yang ngeledek lo?"

"Lo bisa nggak sih, serius sekali aja?" tanya Alta hampir menyerah.

Tania diam. Ia tak bisa serius. Serius hanya akan membuat harinya semakin monoton, membuat hidupnya semakin hampa.

"Jujur sama gue, ke mana lo tadi? lo pasti nggak mau kan pihak panti jompo lapor ke sekolah kalau kita nggak jalanin tugas dengan baik?"

Tania masih diam. Alta banyak bicara saat ia sedang marah dan kesal. Tania baru tahu hal itu.

"Lo nggak mungkin naik ojek cuma untuk cari makan!"

Tania kini mendongak untuk menatap Alta, "yah, kalau gue mager jalan gimana? masa nggak boleh naik ojek!"

"Lo masih nggak mau ngaku?"

"Ini udah ngaku, Kak Sirius!" Tania menggeram sebal.

Alta tak pernah kehabisan akal. Secara tiba-tiba, tanpa bisa Tania cegah, Alta menyambar ponsel di tangannya. Karena tingginya yang sangat jauh dengan Alta, Tania jadi agak kesulitan untuk mengambil ponselnya.

Alta membuka aplikasi ojek-online di ponsel Tania, melihat rincian pemesanan gadis itu.

"Rumah sakit Sentosa?" Alta menjauhkan ponsel itu dari wajahnya. Kini ia memandang Tania tajam, kesal karena sudah
dibohongi.

"Lo cari makan di rumah sakit?"

"Itu salah, bukan yang itu! itu mah waktu mesenin buat Kak Vega berobat!"

"Gue nggak bego, Tania!" Tatapan Alta semakin tajam. Ia tidak suka dibohongi. Ia tidak suka orang yang tidak bertanggung jawab seperti yang Tania lakukan hari ini.

"Lo--"

"Iya! gue memang ke sana! cari makan di sana! kenapa lo sibuk banget sih?!" Tania merampas ponselnya dari tangan Alta, kini ia sudah tidak bercanda lagi. Raut wajahnya berubah menjadi kesal.

"Lo nggak usah marah-marah! gue nggak suka dimarahin!" kata Tania kesal.

"Gue juga nggak suka dibohongin!" balas Alta tak kalah kesal.

"Kalau gue nggak mau jujur, suka-suka gue dong!"

Alta mengusap wajahnya, berdebat dengan Tania hanya akan membuatnya semakin kesal dengan gadis kecil di hadapannya ini.

Alta barusaja hendak bicara ketika ponselnya bergetar. Pemuda itu mengangkat panggilan kala melihat nama Bu Nani tertera di layar ponselnya.

"Assalamualaikum, Alta. Ibu punya kabar duka yang ditujukan untuk Tania. Tapi Ibu tidak punya nomor teleponnya, jadinya Ibu telepon kamu. Mungkin Tania sudah tahu dari papanya, tapi tidak lengkap rasanya jika Ibu tidak mengabari dia juga."

"Kenapa, Bu?" tanya Alta tanpa menjauh dari Tania.

"Mamanya Tania mengalami kecelakaan sekitar jam 10 tadi, yang Ibu dengar sih, katanya beliau koma. Tolong kamu sampaikan pada Tania ya, bilang juga sama dia kalau ibu mengucapkan turut berduka cita."

"Iya, Bu." Jawab Alta singkat. Sambungan telepon terputus. Alta memandang Tania, gadis itu tengah menatap kosong sepatunya. Mungkin, jika ia tahu Alta sudah selesai menelepon, Tania akan memasang wajah cerahnya lagi. Tapi kali ini Tania tak bisa berkutik.

Alta lagi-lagi mendapati sorot kesepian di matanya, juga bahunya yang kembali melorot seakan beban berat tengah ia pikul.

"Lo udah tahu kan?" tanya Alta pelan. Ia kini mengecilkan suaranya, tak lagi sekencang saat ia memarahi Tania tadi. Tania mendongak, dugaan Alta benar, wajah gadis itu kembali berubah. Tak ada sorot kesepian di matanya, pundaknya kini tegap seakan ia adalah gadis paling kuat.

"Tau apa? dikasih tahu aja belum!"

"Soal Mama lo," Alta ragu saat mengatakan itu. Ia tahu Tania dan Vega adalah anak broken home. Alta juga tahu pasti sulit bagi Tania menerima kenyataan bahwa mamanya koma.

"Udah tahu, Kok. Makanya gue ke rumah sakit. Jadi lo nggak usah marah-marah lagi!"

"Kenapa?" tanya Alta.

"Karena marah lo nggak ada serem-seremnya, Kak Sirius. Gue malah pengin ngakak tadi!"

Alta mendengus sebal, membuat Tania terkekeh.

Saat Alta memandang ke arah panti jompo, saat itulah topeng Tania kembali terlepas. Jika boleh, ia ingin memaki Tuhan, meminta keadilan. Ia bisa menuntut Tuhan untuk menjadikannya beruntung seperti Vega. Tapi Tania cukup tahu diri untuk tidak melakukan itu.

Selain mama, tempat mengadu Tania hanyalah pada Tuhan-nya. Dan Tania pun tahu ia dituntut untuk selalu mengerti, sekalipun ia tahu rasanya begitu menyakitkan.

Jika boleh egois, Tania ingin untuk tak memakai topeng ini. Tania ingin menunjukkan pada dunia bahwa menyembuhkan luka anak broken home tidak semudah seperti yang ada pada quotes. Tapi Tania punya gengsi yang tinggi. Ia tak ingin lemah di depan orang lain, sekalipun ia sadar bahwa itulah kenyataannya.

...

Untuk kamu yang lagi patah hati, aku doakan supaya kamu bisa cepat berdamai dengan lukamu, ya🙌

Wortelnya dari emas dong🌟😑

Yaudah deh, disayang lagi,
Bunny🐇🐰


Sirius AltairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang