"Waktu jangan berhenti, berputarlah sebagaimana seharusnya. Biar keadaannya tetap seperti ini; yang bersalah hidup dalam penyesalan. Itu lebih adil."
🐇🐇🐇
Gue di depan rumah lo.
Tania mematikan ponselnya. Pesan yang sama dari nomor yang sama terus-terusan masuk ke ponselnya. Tania tahu Alta ada di depan rumahnya ketika mendengar suara mobil padahal papanya mengabari akan pulang malam. Hanya saja, Tania sedang tidak mau bertemu orang itu.
Pintu kamarnya terbuka, Vega masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur.
"Gue liat Alta di depan rumah dari dua jam yang lalu." Ucap Vega datar. Bisa dibilang, Vega ini Alta versi cewek.
"Lo buka pintunya?" tanya Tania kaget.
"Ngintip dari jendela," jawab Vega lagi. Tania menghela napas lega, lalu kembali mengecek notifikasi pesan di ponselnya. Lagi-lagi isinya sama, Tania curiga jika Alta hanya menyalin pesan yang pertama, lalu tinggal menempelkannya di dinding pesan yang kedua dan begitu seterusnya. Bisa ketebak, orang mager memang seperti itu.
"Udah lama gue nggak ke kamar lo," ucap Vega memecah keheningan.
"Iyalah, lo kan di rumah Papa." Jawab Tania sinis. Vega melirik adiknya, lalu bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan menuju jendela di kamar Tania. Vega menyibak gorden, menampilkan kaca jendela yang penuh oleh tetesan hujan.
Hujan semakin deras, dan Tania tak tahu Alta menunggu di dalam mobil atau di luar mobil. Tania belum mengintip keadaan cowok itu.
"Alta nunggu di luar, bukan di mobil." Seakan tahu pikiran Tania, Vega langsung menjawabnya bahkan di saat Tania tak bertanya.
Tania mengecek ponselnya setelah mendengar penuturan Vega. Ia jadi tidak enak sekarang, Alta pati kehujanan.
Vega diam memandanginya, tersenyum tipis melihat wajah bingung Tania. Vega tahu adiknya itu sedang bimbang, antara harus keluar atau tetap berada di kamar. Yang Vega tahu, tadi Tania pulang dalam keadaan basah kuyup sambil menangis.
"Kalau gue jadi lo, gue bakal maafin Alta. Lo tahu kenapa? Alta itu orang yang paling susah buat didapetin, Tania. Dan lo nggak boleh nyia-nyian hubungan kalian."
"Lo nyeramahin gue?" tanya Tania dengan alis terangkat. Vega berdeham singkat, lalu mengangkat dagunya dan mengalihkan pandangan dari Tania. Tapi terlambat, Tania sudah terlanjur senang diberi nasihat oleh Vega--yang menurutnya sangat jarang. Tak memedulikan sakit di kakinya, Tania berlari ke arah Vega dan memeluk kakaknya itu erat.
"Maaci Penyihir, nasihatmu bikin aku luluh!" Tania mengecup pipi Vega sekali, lalu berlari tertaih-tatih keluar dari kamarnya sebelum Vega mengamuk dan melemparnya dengan bantal.
Kalau dipikir-pikir, ucapan Vega ada benarnya juga. Alta itu sulit diraih, dan jika Tania berhasil mendapatkan Alta bahkan tanpa ia berniat untuk meraihnya, Tania tak boleh menyia-nyiakan semua itu.
Tania meraih payung besar di belakang pintu, lalu membuka pintu sambil menarik napas. Kakinya melangkah menuju gerbang rumah, lalu membukanya.
Yang pertamakali ia lihat adalah Alta yang menggigil kedinginan di depan gerbang rumahnya, sedangkan Dara duduk di dalam mobil memerhatikan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirius Altair
Teen FictionEs itu sudah mulai mencair, tak lagi dingin dan keras. Perlahan, Titania Shaula mampu mengubah seorang Sirius Altair menjadi seperti yang dikenal oleh orang-orang terdekatnya dulu. Dengan segala sikap kekanakan dan keras kepalanya, Tania membawa Alt...