24. Luka Malam

1.4K 104 6
                                        

"Ada kejujuran yang tak pernah dipercaya ketika seseorang yang jarang menangis menunjukkan sisi lemahnya. Ia selalu dianggap pura-pura."

🐇🐇🐇

Vega tak ingat kapan terakhir kali ia menangis. Yang ia ingat, setelah bercerainya mama dan papa, ia selalu berpura-pura kuat.

Vega tahu betul ia berbeda dengan Tania. Tania hangat, ia dingin. Tania ceria, ia suram. Tania mudah memaafkan, ia pendendam. Tania disayang semua orang, sedangkan Vega tidak.

Vega menatap mamanya yang tengah berbaring di ranjang, tangannya memainkan selimut sang mama. Vega tahu ia dan mama tak pernah dekat, tak peduli sesering apa mamanya mencoba mendekatkan diri. Tapi, saat di mana mama terpejam seperti sekarang, Vega merasa ada yang hilang dari hidupnya.

Tentu saja yang hilang adalah papa. Rigel tak lagi sering memerhatikan Vega, Rigel jadi lebih sering bercanda dan memerhatikan Tania. Dan, harus Vega akui kalau ia tidak suka itu.

"Ma," dengan mata berkaca-kaca Vega membawa tangan Shaula ke dalam genggamannya. "Mama kapan bangun?"

Vega benci mengakui ini. Vega benci menangis. Ia tidak suka terlihat lemah. Tapi Vega tak punya kendali menahan kesedihannya lagi. Saat pikirannya meminta ia untuk tidak menangis, hatinya malah menginginkan hal itu.

Ya, harus Vega akui kalau sejak kecil ia selalu berpura-pura kuat, ia tak ingin terlihat lemah. Apalagi, ia adalah seorang kakak, Vega tak ingin terlihat lemah di depan Tania.

"Aku kesepian," aku Vega. Kepalanya tertunduk, tetes air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. "Mungkin bagi Tania semuanya udah membaik, dia udah bisa deket sama Papa, dia udah berhasil ngalahin rasa takutnya untuk pacaran. Tapi bagi aku, semuanya semakin hancur, Ma. Hancur."

Vega terisak, tanpa sadar ia mencengkram tangan Shaula terlalu kuat. Vega kini mendongak memandangi wajah Shaula yang tampak begitu tenang.

"Papa jadi jauh dari aku, Ma. Aku sendirian, aku nungguin Mama bangun supaya Tania nggak deket lagi sama Papa. Aku mau Mama bangun!" Vega mengguncang tubuh Shaula, gadis itu luruh ke lantai kala menyadari sekuat apa pun ia mengguncang tubuh Shaula, mamanya memang belum ingin bangun.

"Aku selalu sendirian, Ma. Dari kecil, aku selalu sendirian. Tapi bukan berarti aku seneng, bukan berarti aku nggak butuh temen. Aku butuh temen, aku mau kayak Tania, tapi aku nggak bisa. Aku takut, Ma." Isakan Vega mereda, gadis itu menutupi wajah dengan telapak tangannya.

"Mama sama Papa selalu perhatiin Tania, kalian ke kamar aku kalau ada yang mau diomongin tentang Tania doang. Padahal dulu, aku berharapnya Mama sama Papa mau bacain aku dongeng."

Vega tanpa sadar membuka lukanya sendiri. Ingatan tentang masa kecilnya yang penuh dengan harapan, penuh dengan bayang-bayang indah akan hari bersama mama dan papa.

Tapi harapannya selalu pupus, bayang-bayang indah itu tak pernah menjadi nyata. Rigel dan Shaula ke kamarnya hanya untuk Tania. Bertanya apakah Tania boleh meminjam mainan Vega, bertanya apakah Vega menjaga Tania dengan baik atau tidak. Semuanya tentang Tania.

"Vega,"

Vega mendongak, kepalanya langsung tertoleh ke arah pintu. Tania dan Rigel sudah berdiri di ambang pintu entah sejak kapan.

Sirius AltairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang