"Ingin kuulang masa yang dulu, tapi aku tak mampu. Ingin kuulang masa di mana aku dan kamu masih menjadi kita, tapi aku tak punya kuasa."
🐇🐇🐇
Tania tak pernah menyambut pagi dengan wajah tertekuk, ataupun mata sembab karena menangis. Paginya selalu ia sambut dengan senyum, sekalipun keadaan hatinya tengah memburuk. Tapi pagi ini beda, langit begitu mendung senada dengan hatinya.
Biasanya, Tania selalu menjadi sumber kebahagiaan keluarganya. Jika Vega sedih, Tania akan mengganggu gadis itu hingga ia melupakan kesedihannya, hal yang sama pun ia lakukan pada Rigel dan Shaula. Tapi sekarang, Tania pun tak tahu bagaimana caranya menyembuhkan lukanya sendiri.
Dengan setengah senyum Tania menyalami tangan para tetangga yang masuk ke dalam rumahnya, menerima dengan ikhlas ucapan bela sungkawa yang tetangganya berikan. Di dalam, Sekar tengah membantu mamanya, sedangkan Tania tak tahu Vega ada di mana.
Selepas memakamkan Shaula semalam, Vega belum keluar dari kamar sampai sekarang. Tania dan Rigel pun tak ingin mengetuk pintu kamarnya, sekarang, mereka hanya perlu fokus menenangkan diri masing-masing.
Tania menyandarkan tubuhnya pada dinding kala melihat tak ada lagi orang yang datang. Gadis itu mengembuskan napas, mencoba untuk tidak menangis lagi. Saat ini yang ia pikirkan hanya Shaula, bukan dirinya sendiri, bukan Vega ataupun Rigel, bukan pula Alta yang sejak semalam terus-menerus meneleponnya.
Tania pikir, dengan ia kuat ketika Shaula koma mampu membantu mamanya, tapi ia salah. Mamanya malah pergi, dan Tania sudah kehabisan tenaga untuk berpura-pura kuat.
Sejak semalam ia juga belum makan, bahkan ketika mama Sekar memasak nasi goreng untuk sarapan mereka subuh-subuh sekali. Ia tak minat, Tania tidak ingin makan sekalipun sadar ia butuh tenaga.
"Tania,"
Sentuhan di bahunya reflek membuat Tania menegakkan tubuhnya, gadis itu menatap Rigel yang berdiri tepat di sampingnya.
"Ikut Papa," ucapnya lagi. Tania mengangguk, mengikuti sang papa yang kini berjalan ke sebuah ayunan di depan rumah. Tania duduk di ayunan itu, sedangkan Rigel berdiri di belakang, mengayun Tania pelan.
"Dulu kalau kamu sedih, kamu pasti minta Papa untuk nemenin kamu main ayunan di sini." Rigel mulai bicara sambil terus mendorong ayunan pelan-pelan. Tania tersenyum mengingat masa itu, masa di mana ia begitu manja pada Rigel dan begitu bermusuhan dengan Shaula yang selalu memaksanya memakan sayuran.
"Sekarang, tanpa kamu minta pun Papa udah temenin kamu di sini."
Tania tak tahu sejak kapan air matanya kembali menetes, yang ia tahu, ia merasakan ada sesuatu yang menetes di pipinya, mengalir sampai ke dagu sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
"Papa mau minta maaf kalau selama ini udah buat Tania sedih, kalau selama ini Papa udah banyak berubah. Papa minta maaf belum bisa jadi Ayah yang baik untuk Tania, belum bisa jagain Mama sepenuhnya."
Air mata Tania kembali menetes, kali ini ia tidak sendirian. Di belakangnya, Rigel pun meneteskan air mata.
"Kalau bisa, Papa juga mau buat Mama hidup lagi, Papa mau memperbaiki hubungan keluarga kita, tapi Papa nggak bisa, Sayang."
Tania menoleh dengan cepat, menggenggam erat tangan Rigel hingga pria itu menghentikan dorongan pada ayunannya.
"Kapanpun kamu sedih, jangan ragu untuk datang ke ayunan ini. Papa selalu ada di sini, bersama kamu." Rigel melepas genggaman tangan Tania, kemudian mengecup pelan kening Tania hingga tanpa sadar air matanya jatuh ke wajah anak bungsunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirius Altair
Teen FictionEs itu sudah mulai mencair, tak lagi dingin dan keras. Perlahan, Titania Shaula mampu mengubah seorang Sirius Altair menjadi seperti yang dikenal oleh orang-orang terdekatnya dulu. Dengan segala sikap kekanakan dan keras kepalanya, Tania membawa Alt...