15. Pahlawan?

1.5K 108 4
                                    

"Kamu tak selalu ada dalam masa sulitku, tapi bodohnya aku selalu bergantung padamu."

🐇🐇🐇

Hari ketiga di mana Tania dan Alta harus mengirimi cinta tidak berlangsung baik. Sejak pukul delapan pagi tadi, keduanya sudah menginjakkan kaki di daerah kumuh yang kurang diperhatikan oleh pemerintah.

Tania memang masih bercanda, bertingkah konyol bahkan tadi ia menjadi badut hanya untuk menghibur anak-anak di daerah kumuh ini.

Hanya saja, tawa yang Tania keluarkan tak menghasilkan renyah yang tulus di telinga Alta. Senyum itu terlihat tak bermakna, tak ada sorot bahagia yang biasa Alta temukan di mata Tania.

Oke, awalnya Akta berpikir gadis itu masih sedih mengingat betapa buruk Tania menangis semalam. Tapi lama kelamaan, wajah Tania yang memucat, juga gadis itu yang sesekali beristirahat ketika sedang bermain dengan anak-anak membuat Alta berpikir keras.

Sekarang pukul 12 siang, Alta pikir, mereka berdua butuh istirahat. Setelah meminta anak-anak untuk bermain sendiri dulu, Tania dan Alta berjalan menuju salah satu pondok dengan atap yang sudah bolong-bolong.

"Lo udah makan?" tanya Alta pada Tania saat keduanya sudah duduk di dalam pondok kecil.

"Udah, dong. Kenyang makan tatapan nih, dari tadi diliatin terus sama Kak Sirius!" jawab Tania sambil tertawa.

Alta mendelik, "gue nanya si-ri-us!"

Tania mengerjapkan matanya berkali-kali, "nanya si-ri-us?"

"Iya, sirius. Gue nggak bercanda."

"Lo ngeledek diri lo sendiri?" tanya Tania masih tampak tak percaya. Alta mengangguk, kemudian menatap datar Tania yang tengah terbahak di hadapannya.

"Gue tanya sekali lagi, lo udah makan?" Alta menegaskan pertanyaannya. Saat itulah tawa Tania terhenti, gadis itu mengangguk mantap. Tapi sayangnya, Tania sedang tidak beruntung. Belum selesai kepalanya mengangguk, perutnya sudah berbunyi cukup keras.

"Kayaknya gue denger ada yang teriak," sindir Alta sambil melirik Tania sinis.

"Cacing gue," aku Tania malu-malu. Alta tersenyum tipis, pemuda itu tiba-tiba melompat keluar dari pondok, lalu membalik tubuhnya menghadap Tania yang masih duduk di dalam pondok.

"Makan dulu," ucap Alta tanpa ekspresi. Tapi Alta berani sumpah, kok, kalau ia mengucapkan dua kata itu dengan tulus, walaupun ekspresi wajahnya tidak mendukung.

"Ditraktir kan?" tanya Tania semangat.

"Hmm,"

"Semangat nih makannya!" Tania melompat keluar dari pondok, kakinya mendarat mantap di tanah, tapi itu tak lama.

Saat ia hendak melangkah, tubuhnya kehilangan keseimbangan, ia hampir saja jatuh jika Alta tak segera memegang lengannya.

Tubuh Tania panas, Alta cukup terkejut kala tangannya menyentuh lengan gadis itu.

"Batu nih, ya, bikin gue keselandung," Tania segera menarik lengannya, lalu menendang batu kerikil yang ada di atas tanah. Ia tahu bukan batu itu yang menyebabkannya hampir jatuh. Tania tahu ia sedang tidak sehat.

Sirius AltairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang