Tentang Sepenggal Masa Lalu

789 130 23
                                    

"Ning, apa impian kamu?" Tanya Kenan saat mereka dalam perjalanan kembali ke kota Bandung.

Anin menoleh, menatap pria berwajah tenang yang ada di sebelahnya.

"Impian ?" Anin kembali mengulang pertanyaan Kenan.

"Iya, setiap orang pasti punya impian dan tujuan hidupkan ? Apalagi kamu masih muda. Pasti dalam pikiran kamu ada jutaan impian yang belum terwujud. Boleh saya tahu salah satu diantaranya ?"

Anin termenung. Impian? Jujur ada banyak hal yang ingin ia lakukan saat ini. Banyak.. Hanya saja ia hampir menyerah untuk mewujudkannya. Apalagi ketika ia menyadari bahwa jalan hidupnya bukan ia lagi yang menentukan. Semua telah diatur.

"Aku pengen kerja di perusahan besar. Jadi konsultan management, keliling indonesia." Anin mengutarakan impiannya dengan mata menerawang. Sesaat kemudian ia tertawa, menertawakan dirinya.

"Impian saya terlalu naif, saya terlalu banyak membaca novel roman picisan. Nyatanya hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita kan?" Kekeh Anin.

Kenan menoleh, menyaksikan secara langsung betapa menawannya wajah gadis itu ketika tertawa. Meski tawanya belum terlalu lepas. Anin masih sedikit canggung bersama Kenan.

"Itu mimpi yang menarik. Saya pikir kamu bermimpi punya suami seorang CEO kaya seperti impian naif gadis-gadis penikmat drama korea pada umumnya." Sahut Kenan.

Anin terkejut, reflek menatap pria itu sembil memiringkan kepalanya dengan raut wajah heran yang lagi-lagi terlihat sedikit menggemaskan. Kenan segera memalingkan wajahnya, sadar pesona Anin membawa pengaruh aneh pada dirinya. Entah apa itu.

"Hahaha, CEO mana yang mau sama saya? Itu impian nggak tahu diri namanya, Mas." Kali ini tawa Anin begitu lepas.

Kenan menunduk, menyembunyikan senyumnya. Ia berdeham kemudian, menetralkan perasaan geli yang menyerangnya saat ini.

"Tapi, kenyataannya memang akan menikah dengan CEO kan? Yah, walau bukan CEO seperti yang di drama atau novel roman picisan yang sering kamu nikmati."

Kali ini Anin terdiam, mengerutkan kening sambil menggigit bibir bawahnya.

"Waah.. iya juga ya. Saya hampir lupa. Ini bonus dari Allah sepertinya." Canda Anin.

Untuk beberapa saat suasana kembali hening. Kenan seperti kehabisan bahan obrolan, dan Anin bingung harus memulai dari mana lagi. Selalu seperti itu.

"Nin, dua bulan lagi kita akan menikah. Apa arti pernikahan buat kamu?"

Sebuah pertanyaan yang tidak diduga-duga meluncur dari mulut Kenan.

Arti pernikahan? Kenapa Kenan menanyakan hal itu?

"Daripada Mas menanyakan ke saya. Bagaimana kalau Mas Kenan jawab terlebih dahulu. Apa arti sebuah pernikahan buat Mas? Karena, kalau saya lihat dari awal sepertinya Mas yang tidak yakin dengan perjodohan ini." Jawab Anin.

Kenan menoleh, tatapan mata mereka saling beradu untuk sesaat, sebelum Kenan kembali fokus menatap jalanan yang ada dihadapannya.

"Saya nggak tahu. Saya nggak pernah lagi punya pandangan tentang pernikahan sejak sepuluh tahun lalu. Ketika orang yang begitu saya sayangi, menghilang tanpa kabar. Orang yang selalu saya yakini sebagai pelabuhan terakhir saya." Mata Kenan seakan kosong saat mengingat masa lalunya.

"Kita akan menikah, dan saya merasa perlu memberitahu kamu tentang apa yang pernah menjadi bagian dari saya di masa lalu."

"Untuk apa, Mas? Bukankah masa lalu ada hanya untuk dikenang, bukan untuk diulang? Saya rasa itu nggak perlu." Tegas Anin.

FIL ROUGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang